Televisi saat ini merupakan sarana elektronik masih digemari sebagian besar masyarakat di Indonesia. Untuk mendapatkan televisi tidak sesusah jaman dahulu sebelum era 90an. Dimana pada saat itu, televisi hanya bisa dimiliki oleh kalangan tertentu yang sanggup membelinya saja. Namun sekarang, hampir setiap rumah memiliki televisi, bahkan untuk kalangan atas tidak hanya satu televisi, namun bisa dua atau bahkan tiga menyesuaikan dengan jumlah ruangan dalam keluarga tersebut. Televisi yang dahulu menjadi barang tersier dengan tingkat prioritas kebutuhan paling akhir, namun sekarang mampu merangkak naik menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi dalam deretan paling awal kebutuhan hidup rumah tangga.
Perkembangan teknologi dan informasi juga mendorong konsumsi TV meningkat tajam. Dengan diperkenalkannya istilah smart TV sebagai bentuk modernisasi dari TV tradisional yang telah ada, smart TV seolah-olah membawa angin segar bagi penonton televisi yang membutuhkan hiburan yang lebih menarik dari sebelumnya. Bukan hanya sekedar hiburan dari program televisinya, namun juga hiburan dari fitur bawaan yang disediakan oleh smart TV. Data dari Displaysearch menunjukkan bahwa pada semester pertama tahun 2015, penjualan smart TV diseluruh dunia sudah mencapai 40,19 juta unit. Angka tersebut mengumpulkan 41% dari total penjualan TV di seluruh dunia yang mencapai 97,92 juta unit. Angka tersebut tentu akan bertambah ditahun 2016 ini karena begitu gencarnya promosi dari smart TV yang menawarkan berbagai macam fitur unggulan yang akan menambah motif konsumen untuk membeli Televisi.
Televisi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat ini jugalah yang meningkatkan banyak bermunculan stasiun televisi swasta. Di Indonesia sendiri, sekarang terdapat 11 stasiun televisi swasta yang mengudara secara nasional. Bahkan menurut Dewan Pers yang pernah melakukan pendataan pada tahun 2014, jumlah stasiun televisi yang beroperasi di Indonesia mencapai 394 stasiun televisi baik televisi lokal maupun nasional.
John Fiske (1987) dalam bukunya yang berjudul “Television Culture” mengatakan “ TV is an agent of popular culture and at the same time a comodity at the cultural industries that deeply inscribed with capitalism”. Dengan semakin mudahnya masyarakat memiliki televisi ditambah dengan banyaknya stasiun televisi swasta yang mengudara secara nasional, maka teori dari fiske tersebut mulai terlihat nyata. Ada tiga poin penting yang dapat kita ambil dari teori fiske tersebut, Pertama adalah televisi sebagai agen dari budaya populer. Istilah Budaya Populer sendiri dapat diterjemahkan dengan pengertian suatu aktifitas atau praktik-praktik sosial yang bisa menyenangkan orang dan disukai oleh banyak orang. Praktik menyenangkan banyak orang inilah yang kemudian dibaca oleh para pemilik media elektronik televisi untuk membuat berbagai program yang menarik yang dirasa banyak disukai oleh banyak orang. Program televisi tersebut disesuaikan dengan minat masyarakat yang membutuhkan banyak informasi dan hiburan, dikaitkan dengan trend saat itu, dan mengikuti perkembangan teknologi yang ada. Sebagai contoh diera tahun 2000an, muncul program televisi drama korea meteor garden yang digawangi personel boy band korea F4. Setelah itu banyak bermunculan drama korea sejenis yang mulai diputar di berbagai stasiun TV saat itu. Setelah itu trend berubah ke acara reality show yang diawali dari sebuah program reality show “Katakan Cinta” di RCTI. Setelah itu mulai menjamur kembali program acara serupa di stasiun TV lain. Trend selanjutnya berubah ke program acara komedi, joget dan talk show yang mulai digemari masyarakat saat itu. Dan sekarang ini trend mulai berubah kembali ke acara sinetron, baik sinetron indonesia maupun sinetron impor dari india dan turki. Perubahan demi perubahan tersebut diciptakan televisi dan media lainnya untuk memenuhi permintaan pasar yang selalu berubah karena pada dasarnya masyarakat itu makhluk sosial yang selalu ingin berubah mengikuti perubahan sosial yang terjadi. Perubahan yang diciptakan televisi tersebutlah yang menjadikan televisi oleh Fiske disebut sebagai agen dari budaya populer, yang setiap waktu programnya selalu berganti mengikuti pasar industri televisi yang sedang hits saat itu.
Kedua fiske menyebutkan bahwa televisi sebagai komoditas dari industri budaya. Hal ini tidak terlepas dari pembahasan sebelumnya yang menjelaskan bahwa televisi adalah agen dari budaya populer. Karena televisi terutama televisi swasta sifatnya adalah profit oriented, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan televisi adalah komoditas dari sebuah industri. Industri yang menjual segala hal tentang perubahan budaya yang berarti adalah industri budaya. Dengan demikian selain menjadi agen dari perubahan budaya populer tersebut, pada saat yang sama televisi juga menjual perubahan budaya tersebut ke pasar televisi yaitu masyarakat. Hal ini menjelaskan kenapa televisi selalu berinovasi agar program yang ditanyangkannya mendapat sambutan positif dari masyarakat. Sambutan tersebut diterjemahkan oleh industri televisi sebagai rating dan share. Semakin tinggi rating dan share dari suatu program televisi, maka semakin banyak pemasang iklan yang memasangkan iklannya di program tersebut. Hal itu berarti stasiun televisi tersebut akan mendulang banyak uang dari iklan dan program tersebut akan terus dipertahankan sampai terjadi perubahan budaya lagi pada masyarakat penonton TV. Sebagai contoh acara yang bertahan cukup lama mengudara di stasiun televisi adalah program “bukan empat mata”. Walaupun dalam perjalanannya sempat berubah nama dari “empat mata” menjadi “bukan empat mata” karena adanya teguran KPI, tetapi acara ini dibilang sukses menghibur pemirsa televisi di Indonesia selama 10 tahun. Sebuah pencapaian yang luar biasa untuk ukuran budaya penduduk indonesia yang mudah mengalami perubahan budaya populer, dan program tersebut dapat bertahan hingga lebih dari satu dasawarsa tersebut.
Dalam perspektif kacamata industri budaya, budaya populer juga dinilai sebagai produk kapitalisme yang bersifat massal dan dikelola terus menerus oleh jejaring media di mana jarak jangkaunya hampir tak terbatas dan bahkan bisa menembus batas wilayah suatu negara. Dalam menjalankan fungsi industrinya, Institusi industri media perlu melakukan penerapan strategi khusus untuk menjaring massa, guna menjalankan ideologinya ”dalam upayanya bertahan hidup, seperti halnya, bisnis lain, media menciptakan beberapa kegiatan yang diperkirakan disukai, dan sekaligus dibutuhkan, masyarakat sebanyak-banyaknya” (Sapardi, 2009).
Sebagai suatu komoditas industri budaya, televisi tentu harus dipoles agar memiliki daya saing yang maksimal dan mampu bertahan dari terpaan para pesaing. Televisi harus bersolek bak gadis cantik yang seksi yang ketika berjalan dihadapan para lelaki akan membuatnya terpesona. Televisi harus menelurkan program-program yang heboh dan menghibur pasar konsumen televisi. Televisi juga harus kaya karena harus membayar ratusan atau bahkan ribuan pegawai yang bekerja siang dan malam untuk mengumpulkan pundi-pundi uang stasiun televisi tersebut. Dan yang paling penting adalah televisi harus menarik, untuk dapat meyakinkan para pengusaha agar tertarik beriklan distasiun televisi tersebut.
Tuntutan yang harus diselesaikan televisi tersebut lah yang menyebabkan televisi tidak bisa dipisahkan dengan kapitalisme seperti teori fiske pada poin ketiga yang mengatakan “deeply inscribed capitalism”. Kapitalisme juga tidak terlepas dari adanya kekuatan modal, baik modal material berupa uang maupun modal non material berupa kekuatan politik. Modal material berupa uang jelas dibutuhkan televisi untuk mendanai proses produksi televisi. Semakin banyak modal uang digelontorkan pemilik stasiun televisi, maka semakin menarik juga program yang dapat dihasilkan oleh stasiun televisi tersebut. Dan untuk memenangkan share dan rating, biasanya pemilik modal besar akan memiliki lebih dari satu stasiun tv, yang biasanya dilakukan melalui proses akuisisi. Kepemilikan ganda atau lebih tersebut tanpa didukung dana yang besar tentu tidak akan terjadi. Sebagai contoh stasiun tv free to air secara nasional yang dimiliki oleh satu kepemilikan adalah RCTI, MNC TV, DAN GLOBAL TV dibawah kepemilikan Hary Tanoe. TV One dan ANTV dibawah kepemilikan Group Bakri, serta Trans TV dan Trans 7 dibawah kepemilikan Chairul Tanjung.
Jika melihat dari sisi pengeluaran, dengan memiliki stasiun tv lebih dari satu diharapkan akan terjadi perputaran bisnis budaya yang saling melengkapi, jika satu stasiun tv merugi dapat didukung oleh stasiun tv yang lainnya. Pengeluaran untuk sumber daya manusia pun bisa ditekan karena bisa dengan mudah dilakukan pertukaran antar stasiun tv dalam satu payung kepemilikan. Karena dalam dunia pertelevisian, sumber daya manusia adalah salah satu pengeluaran yang cukup besar karena dalam satu program tayangan saja, orang dibalik layarnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan orang. Dengan melakukan silang sumber daya manusia, diharapkan pengeluaran stasiun tv dapat ditekan namun pekerjaan distasiun tv tersebut bisa terselesaikan. Oleh karena itu tidak heran jika kita sering mendengar banyak pegawai televisi merasa diperas kinerjanya sampai titik darah penghabisan ketika bekerja didunia pertelevisian. Hal itu karena pemilik modal ingin memastikan bahwa investasinya di stasiun televisi tersebut bisa kembali dengan hasil yang berlipat ganda. Dan semuanya tentu kembali kepada titik bisnis yang mana televisi adalah komoditas dari industri budaya, yang menjual kepopuleran dan memanfaatkan perubahan budaya (trend) untuk menarik penonton demi pundi-pundi uang dari pemasang iklan.
Kapitalisme yang kedua adalah modal non material berupa kekuatan politik. Hal ini berkaitan dengan penggunaan televisi untuk berkampanye politik. Sehingga selain menjadi komoditas bisnis budaya, televisi juga dijadikan sebagai komoditas politik. Bagi pemilik stasiun televisi yang juga sekaligus petinggi partai politik di Indonesia, televisi mulai disulap menjadi perpanjangan tangannya. Mereka menggunakan televisinya untuk menguatkan posisi politik mereka dengan terus menerus menyisipkan pesan kepada khalayak bahwa partai politik mereka paling merakyat. Pesan-pesan tersebut ada yang secara eksplisit disebutkan ataupun ada juga pesan yang secara implisit dilekatkan pada program tertentu. Ambil saja contoh kapitalisme politik ini dari MNC Group yang dipimpin Hary Tanoe sebagai pimpinannya. Hary tanoe juga dikenal sebagai pimpinan Partai Perindo yang belum lama dideklarasikannya. Sehingga dalam iklan Televisi dari MNC Group tersebut gencar mengiklankan pesan dari partai Perindo yang tidak lain adalah pimpinan MNC Group. Sementara partai lain dipandang sebelah mata dan terkadang didiskreditkan dalam siaran berita di Group MNC ini. Hal inilah yang menjadikan televisi mulai kehilangan marwahnya sebagai media elektronik yang menghibur masyarakat. Televisi sudah mulai dijadikan komoditas politik yang secara terus menerus dieksplorasi untuk selalu mempengaruhi khalayak yang tujuannya tentu agar dipilih saat waktu pemilu datang. Contoh lain dari kapitalisme politik juga ditunjukkan oleh metro TV yang dipimpin surya paloh yang sekaligus pimpinan partai Nasdem. Seluruh tayangan berita yang berkaitan dengan Nasdem pasti akan positif, sementara tayangan berita yang berkaitan dengan lawan politknya pasti akan selalu bernada negatif. Hal seperti inilah yang menjadikan preseden buruk bagi dunia pertelevisian di Indonesia. Pemberitaan yang tidak berimbang dan selalu menyudutkan lawan politik melalui pemberitaan di stasiun TV yang dipimpin pemimpin partai politik. Begitu juga dengan Televisi dari group bakri melalui talkshow talkshow yang selalu mendukung partai Golkar sehingga menyiratkan secara eksplisit bahwa ada pesan pemimpin televisi agar memberitakan dan mempublikasikan secara baik Partai Golkar.
Kekuatan politik yang dibangun melalui media televisi inilah yang sebenarnya tidak adil bagi masyarakat. Apabila dianalogikan seorang pemancing, maka masyarakat adalah ikannya. Sementara televisi adalah kailnya. Pemilik Televisi duduk santai menunggu ikan-ikan tersebut memakan umpan berupa iklan dan sugesti berita politik yang tidak adil. Ada masyarakat yang menanggapi umpan tersebut, namun ada juga yang tidak mengubrisnya. Sebagaimana teori Kultivasi yang dicetuskan oleh Gebner (1969) yang mengatakan bahwa terpaan televisi dalam jangka waktu yang lama akan memberikan pengaruh terhadap khalayak. Hal inilah yang penulis anggap tidak adil bagi khalayak karena disini masyarakatlah yang akan menjadi korban dari kapitalisme televisi di Indonesia. Sebagaimana anak penulis sendiri yang sekarang sudah hafal lagu dari salah satu iklan partai politik yang terus di putar di televisi, dan sering dinyanyikannya padahal anak masih berusia 2 tahun.
“Partai Perindo... Partai Perindo... Jayalah Indonesia”
DAFTAR PUSTAKA
Djoko Damono, Sapardi. 2009. Kebudayaan (Populer) disekitar Kita. Jakarta : Kompleks Dosen UI
Fiske, John. 2011. Television Culture 2^nd edition. London: Roudledge
Imanto, Teguh. Makalah: Budaya Populer dan Realitas Media. Jakarta: Esa unggul
McQuail, Denis. 2010. McQuail’s Mass Communication Theory 6th Edition. London: SAGE
Komentar
Posting Komentar