A.
Persamaan dan Perbedaan
Ø Persamaan dari Mahzab Frankfurt dan Birmingham
adalah sebagai berikut:
1. Karena kedua mahzab ini merupakan teori
kritis, maka semuanya berakar pada pemikiran Karl Marx dan Frederich Engels
yang disebut ”Marxisme”. Marxisme beranggapan bahwa sarana produksi dalam
masyarakat bersifat terbatas. Ekonomi adalah basis seuruh kehidupan sosial.
Saat ini, kehidupan sosial dikuasai oleh kelompok kapitalis, atau sistem
ekonomi yang ada saat ini adalah sistem ekonomi kapitalis. Dalam masyarakat
yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, profit merupakan faktor yang
mendorong proses produksi, dan menekan buruh atau kelas pekerja. Hanya dengan
perlawanan terhadap kelas dominan (pemilik kapital) dan menguasai alat-alat
produksi, kaum pekerja dapat memperoleh kebebasan. Walaupun selanjutnya, Mahzab
Frankfurt dan Birmingham banyak melampui dan meninggalkan ajaran Marx secara
baru dan kreatif.
2. Kedua Mahzab ini dapat dikatakan sebagai Neo-Marxisme
yang mengambil konsep yang sama, yaitu Hegemoni. Secara umum, hegemoni dapat
didefinisikan sebagai pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari sebuah kelompok
sosial terhadap yang lain. Konsep hegemoni dimunculkan oleh Antonio Gramsci,
yang didasarkan pada pemikiran Marx yang bertujuan untuk mengungkap kondisi
yang sebenarnya dibalik suatu “realitas semu” atau “kesadaran palsu” yang
teramati secara empirik. Atau dengan kata lain, Gramsci ingin menyadarkan orang
dari kelompok tertindas agar melawan dan tidak begitu saja menerima dominasi
sebagai sesuatu yang wajar dan selayaknya memang harus diterima.
Ø Perbedaan Mahzab Frankfurt dan Birmingham
adalah sebagai berikut:
Mahzab
Frankfurt:
Mazhab Frankfurt, sebagaimana dikenal dari
namanya, adalah suatu gerakan pemikiran filosofis yang dikembangkan di
Universitas Frankfurt mulai tahun 1930an. Bila yang “dilibatkan” dalam Mazhab
Frankfurt adalah Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan Habermas, maka gerakan
tersebut identik dengan gerakan Teori Kritis. Namun ada pula ahli yang memahami
mazhab tersebut lebih dari keempat tokoh tersebut, dan memasukkan Wellmer ke
dalamnya (Geuss, 1989). Menyebut Mazhab Frankfurt, sesungguhnya menyebut
riwayat “tradisi intelektual” yang panjang. Horkheimer, Adorno, dan Marcuse
adalah perintis gerakan pemikiran ini, yang kemudian sering pula disebut
sebagai Generasi Pertama. Murid yang pernah ditolak oleh Horkheimer, Habermas,
tidak dapat dilepaskan dari tradisi Mazhab Frankfurt. Ia disebut termasuk
sebagai Generasi Kedua Madzab Frankfurt, sedangkan pada Institute for Social
Research di bawah kepemimpinan Axel Honneth telah muncul Generasi Ketiga Mazhab
Frankfurt. (1)
Mazhab ini dipengaruhi oleh pemikiran Marx.
Tulisan Marx yang berpengaruh di kalangan pemikir Frankfurt adalah gagasan Marx
mengenai alienasi (alienation).
Bagaimana mereka yang memiliki kekuasaan (kelompok elit/berkuasa) mengeksploitasi
yang lemah (kelas pekerja). Ia percaya bahwa keadaan lemah dapat menuntun pada
kondisi dimana orang mulai merasa memiliki sedikit kontrol terhadap masa depan
mereka. Alienasi paling merusak terjadi pada kapitalisme.
Mazhab ini lahir karena ada keprihatinan
akumulasi dan kapitalisme lewat modal besar, yang mulai menentukan dan
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Modal inilah yang mulai menentukan dan
menggerakkan masyarakat. Individu tidak
lagi mempunyai kontrol terhadap modal tersebut, malah secara alamiah (di luar
kesadaran) menyesuaikan dengan masyarakat yang dikuasai oleh modal
Dua tokoh pertama, yaitu Horkheimer dan Adorno
bersama-sama menulis sebuah buku Dialektik
der Aufklaerung. Isinya adalah kritik terhadap rasio kritis. Intinya bahwa
masyarakat haruslah mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Karena
kondisi masyarakat yang kelihatan produktif, sesungguhnya terselubung struktur
masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khakayak.
Dengan adanya pencerahan maka adanya
kemungkinan membebaskan manusia dari ketakutan dan membangun kebebasannya.
Pencerahan merupakan proyek penyingkiran mitos-mitos yang telah menindas masyarakat tradisional.
Pengembangan ilmu dan teknologi modern dalam masyarakat melalui sistem
pendidikan, ekonomi, dan industri cepat atau lambat akan mengusir mitos-mitos
tersebut jauh-jauh dari benak mereka. Adorno dan Horkheimer juga mengembangkan
konsep industri budaya yang mengacu pada dunia hiburan dan media massa.
Sementara Jurgen Habermas menekankan bahwa
masyarakat harus dilihat sebagai
perpaduan (mix) dari 3 kepentingan utama: kerja (work), interaksi dan
kekuasaan (power). Semua kepentingan itu sama-sama penting. Kerja (work) adalah
usaha untk menghasilan / mengkreasi sumber-sumber material (material
resources). Interaksi atau penggunaan bahasa dan sistem simbol lainnya dalam
komunikasi. Karena kerjasama sosial sangat dibutuhkan dalam masyarakat.
Sedangkan distribusi kekuasaan (power) merupakan pembentuk keteraturan social.
Kekuasaan dapat membuat komunikasi terdistorsi tetapi lewat penyadaran ideologi kelompok-kelompok yang
ada dalam masyarakat itu bisa diperkuat / diberdayakan menuju masyarakat
transformatif.
Mahzab
Birmingham (British Cultural Studies):
Istilah Cultural Studies ini
diciptakan oleh Richard Hoggart pada tahun 1964 ketika ia
mendirikan Birmingham Pusat
Studi Kontemporer Budaya atau CCCS. Ia telah menjadi
sangat terkait dengan Stuart Hall , yang menggantikan Hoggart
sebagai Direktur. George Mason University menawarkan Ph.D. pertama berdiri
sendiri dalam kajian budaya di Amerika Serikat. Dari
tahun 1970-an dan seterusnya, Karya rintisan Stuart Hall, bersama dengan
rekan-rekannya Paul Willis , Dick Hebdige , Tony Jefferson, dan Angela McRobbie , menciptakan sebuah gerakan
intelektual internasional. (2)
Teori-teori dalam British Cultural Studies mempelajari budaya-budaya yang
terpinggirkan oleh ideologi-ideologi dominan yang hidup pada sebuah budaya.
Fokus Kajian Budaya adalah perubahan sosial, yaitu munculnya atau diakuinya
budaya-budaya yang termarginalkan tersebut. Ini yang membedakan dengan Frankfurt
School yang melawan dominasi untuk merebut kekuasaan dalam masyarakat. Perbedaan
lainnya adalah para teoritikus kajian
budaya telah mengintegrasikan berbagai macam perspektif ke dalam
teori ini, termasuk kesenian, humaniora dan ilmu sosial. Selain itu, para
teoritikus kajian budaya juga memasukkan kelompok marginal yang tidak
memiliki kekuasaan tambahan, tidak terbatas pada pekerja saja.
Kelompok-kelompok ini mencakup homoseksual, etnis minoritas, wanita, kaum
dengan gangguan kejiwaan, dan bahkan anak-anak. Kajian budaya juga mempelajari
kegiatan rekreasi, hobi dan olahraga untuk berusaha memahami bagaimana individu
berfungsi di dalam masyarakat. Intinya kajian budaya bergerak melampaui
interpretasi mengenai masyarakat yang kaku dan terbatas menuju konsepsi budaya
yang lebih luas. (3)
Selain itu mahzab ini juga
melihat dominasi elit terhadap superstructure tidaklah total seperti pandangan
Marxis. Kalangan Marxis misalnya melihat elit akan menguasasi secara total
superstructure (ideologi, pemahaman, keyakinan dsb). Sementara kalangan Mazhab
Birmingham lebih melihat adanya pertarungan ideologi antar berbagai kelompok
yang ada di dalam masyarakat. Elit tidak bisa sepenuhnya memaksakan pemahaman
dan ideologinya, Karena kalangan lain bisa jadi punya pemahaman yang berbeda
(oposisi) terhadap keyakinan dan ideologi elit.
Pada
intinya, mahzab Birmingham berorientasi pada makna-makna yang terkandung dalam
sebuah media. Pemikir disini percaya bahwa media merepresentasikan makna dan
tujuan tertentu dari kaum elit dominan. Oleh karena itu mahzab Birmingham juga
percaya bahwa dominasi makna yang membawa pesan tersendiri juga harus dilawan
dengan hegemony tandingan (counter
hegemony), dengan memanfaatkan sumber daya yang telah ada sebelumnya.
B.
Penggambaran kelompok Minoritas (buruh,
perempuan, orientasi seksual) menurut:
Mahzab
Frankfurt
Dalam
pemberitaan di media terhadap kelompok minoritas (buruh, perempuan, orientasi
seksual, dsb), pemikir pada mahzab ini seperti Horkeimer cenderung melihat
pemberitaan tersebut dari dua sisi yang berbeda. Atau dengan kata lain berita
tersebut harus obyektif. Namun mahzab ini tidak melihat bagaimana agar media
meliput suatu peristiwa dengan objektif, tetapi lebih kepada objektivitas
pertama kali dari media tersebut. Pengaruh kekuasaan pada kepemilikan media
yang menjadi sorotan. Apakah media tersebut mewakili dari kelompok dominan yang
wajib di kritisi. Sebagai contoh dalam era orde baru, media dalam
pemberitaannya cenderung mewakili kelompok dominan, yaitu keluarga cendana.
Semua pemberitaan media dipastikan akan pro kepada penguasa saat itu, yaitu
Soeharto. Mulai dari Buruh yang yang tidak pernah berdemo, atau mengenai Gender
dan seksualitas yang menempatkan wanita selalu dibawah pria. Hal seperti inilah
yang dalam pandangan Mahzab Frankfurt pasti akan dikritisi. Karena focus utama
mahzab ini adalah melawan dominasi kekuasaan yang dianggap sebagai hal yang
lumrah dalam masyarakat.
Mahzab
Birmingham
Apabila
Mahzab Frankfurt melihat media dari sisi objektivitas media yang mewakili
kelompok dominan, Mahzab Birmingham melihat media dari sisi yang berbeda.
Pemikir dalam kelompok ini cenderung menerapkan ideologi mereka dalam melihat
pemberitaan di media. Apabila ada
pemberitaan media dominan, yang tentu menguatkan hegemoni mereka dalam
masyarakat, mahzab ini akan mencari celah untuk menangkap apa sebenarnya
ideology budaya yang sedang kelompok dominan ini susupkan kedalam masyarakat. Sebagai
langkah nyatanya, mahzab ini akan mengeluarkan hegemoni tandingan (kritik atas
hegemoni kelompok dominan) yang mewakili ideology mereka. Sebagai contoh di
Indonesia dalam kasus G30S/PKI. Dalam media di era orde baru banyak diberitakan
bahwa PKI merupakan pengkhianat bangsa dan harus diberantas. Namun dalam era
reformasi setelah tumbangnya rezim orde baru, mulailah bermunculan pemikiran
tandingan yang mewakili ideologi mereka masing-masing tentang penyebab adanya
peristiwa tahun 1965 tersebut. Ada penulis yang menyatakan bahwa bukan semata
karena PKI, tetapi lebih kepada adanya konflik intern dalam tubuh Tentara
Angkatan Daratr saat itu. Atau contoh lain yang mewakili gender, yaitu mulai
bermunculan film-film yang mewakili kelompok transgender, seperti betty bencong
slebor pada tahun 1978. Film ini cukup berani menggebrak hegemoni dominan saat
itu melalui ideology yang ditanamkan melalui film. Hal seperti contoh diatas
merupakan bentuk dari pandangan mahzab Birmingham dalam melakukan kritik atas
hegemoni dominan.
Selain
itu mahzab ini juga focus pada makna dari suatu pesan yang disampaikan. Stuart
hall yang merupakan salah satu pemikir dari Mahzab Birmingham mengungkapkan
gagasan penting mengenai penafsiran (pengkodean) khalayak terhadap suatu pesan
dari media. Ketika seseorang menerima pesan, maka pesan tersebut akan dikodekan
oleh khalayak berdasarkan persepsi, pemikiran, dan pengalaman masa lalu
seseorang. Sebagai contoh dalam pemberitaan demo buruh, media dominan
(pemerintah) cenderung melihat dari sisi kerugian negara akibat demo buruh
tersebut. Jalanan ditutup, perusakan sarana dan prasarana, ataupun berhentinya
industri akibat demo lah yang mungkin akan menjadi focus media. Sementara
pemberitaan dari sisi tuntutan dan kesengsaraan buruh dengan gaji kecil kurang
dilihat. Oleh karena itu sebagaimana diungkapkan mahzab Birmingham, khalayak
yang melihat pemberitaan tersebut akan cenderung memaknai bahwa demo buruh
tersebut justru merugikan buruh itu sendiri dan menggangu kepentingan umum.
Karena persepsi khalayak seperti digiring untuk memaknai pesan media
sebagaimana yang diinginkan kelompok dominan. Makna seperti inilah yang menjadi
focus dari mahzab ini bahwa perlu adanya kritik tandingan dengan menampilkan
pemberitaan media dengan melihat sisi pemberitaan dari buruh.
Daftar Bacaan:
1.
Littlejohn, Stephen W. Theories of
Human Communication.7th Ed. Wadsworth, 2002.
2.
Eriyanto, Slide Presentasi Dosen Mata
Kuliah Teori Komunikasi, Little John Chapter
XI (Critical Theories).
Komentar
Posting Komentar