Bagi sebagian orang yang bekerja di televisi, rating dan share adalah momok menakutkan sekaligus sumber mata uang mereka. Bagaimana tidak, setiap datangnya laporan rating dan share suatu program televisi, setiap detil angka yang muncul akan diperhatikan dengan seksama. Bahkan perbedaan angka dibelakang koma pun akan menjadi perhatian serius para pekerja televisi tersebut. Semakin tinggi angka rating dan share sebuah program televisi, maka semakin banyak pemasang iklan yang akan memasangkan iklannya dalam program tersebut, dan dipastikan akan semakin panjang program tersebut tayang di layar kaca.
Pergulatan dengan angka-angka rating dan share merupakan akibat dari pemahaman bahwa ia identik dengan minat masyarakat pada suatu program. Menurut Direktur Utama trans TV (2006), Ishadi SK, di sebuah tabloid mengatakan bahwa sebuah program yang memiliki rating audience dan share yang tinggi, berarti sangat digemari penonton dan umumnya menarik pemasang iklan. Hal inilah yang menjadikan angka rating dan share ini menjadi amat penting bagi pekerja TV, karena dengan semakin banyak pemasang iklan diprogram televisi mereka, maka semakin banyak uang yang akan dihasilkan dari suatu program.
Secara sederhana rating didefinisikan sebagai presentase dari seluruh orang dalam rumah tangga yang menonton program tertentu saat itu dibandingkan dengan total populasi TV. Sementara share berbeda dengan rating. Share didefinisikan sebagai seluruh orang dalam rumah tangga yang menonton program tertentu saat itu dibandingkan dengan seluruh orang dalam rumah tangga yang menonton TV saat itu.
Begitu pentingnya angka-angka rating dan share ini sehingga membuat para pekerja televisi banting tulang untuk mempertahankan angka ini di level tertinggi. Hal ini karena angka tersebut adalah satu-satunya tolok ukur keberhasilan yang mampu melihat seberapa banyak kecenderungan orang menonton suatu program televisi.
Monopoli Survei Kepemirsaan TV
Rating dan share adalah salah satu hasil dari survei kepemirsaan TV. Di Indonesia satu-satunya perusahaan survei kepemirsaan TV yang sekarang dipercaya oleh para stakeholder (TV, agency iklan, perusahaan pemasang iklan) adalah AGB Nielsen Media Research. Sebenarnya ada perusahaan lain yang bergerak dibidang yang sama, namun karena metodologi yang digunakan nielsen dianggap lebih baik, maka hanya dari perusahaan survei inilah angka rating dan share yang digunakan para stakeholder.
Sebenarnya di Indonesia penyelenggaraan survei rating televisi mulai dirintis oleh Survei Research Indonesia (SRI) sejak 1990. Pada tahun 1994, AC Nielsen perusahaan riset pemasaran terkemuka asal Amerika Serikat—mengakuisisi SRI, sehingga namanya berubah menjadi AC Nielsen-SRI. Selanjutnya beberapa kali perusahaan ini berganti nama. Awalnya, AC Nielsen Media International, kemudian Nielsen Media Research (NMR).
Secara internasional, NMR adalah bagian dari grup perusahaan VNU Media Measurement & Information. Terakhir pada tahun 2004, membentuk join venture dengan AGB, penyelenggara survei kepemirsaan terbesar nomor dua di dunia, sehingga namanya berubah menjadi AGB Nielsen Media Research. Melalui bendera AGB Nielsen Media Research, wilayah surveinya mencakup di 30 negara.
Dalam menjalankan risetnya, AGB Nielsen mengacu pada pandangan global “Global Guidelines for TV Audience Measurement (GGTAM)” yang dibuat oleh Audience Research Method (ARM) Group. Dalam GGTAM survei harus dilakukan melalui tujuh langkah pokok, yaitu: TV Establishment Survey, Pemilihan Panel, Metering Equipment (TVM-5): pemasangan di rumah tangga panel, Pengumpulan Data (On-line Polling), The Production (Pollux System), TV Monitoring, Pengiriman Data (via Arianna).
Secara garis besar ketujuh langkah pokok tersebut dimulai dari TV Establishment Survey dilakukan di wilayah survei dari AGB Nielsen yang saat ini mencakup 11 kota besar, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Solo, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui jumlah populasi TV yang didasarkan pada profil klasifikasi sosial ekonomi dalam masyarakat, yang meliputi pengeluaran rumah tangga, daya listrik, sumber air minum, dan bahan bakar memasak. Dari pengklasifikasian tersebut didapat lima kategori profil yaitu Upper I yang diambil populasi TV nya sebesar 11%, kemudian Upper II sebesar 19%, Middle I sebesar 37%, Middle II sebesar 22%, dan Lower sebesar 10%. Pengambilan populasi TV melalui kategori profil tersebut sama diseluruh negara yang dilakukan surveinya oleh Nielsen dan dibatasi untuk orang yang telah berusia 5 tahun keatas.
Setelah didapat populasi TV, kemudian dilanjutkan dengan pemilihan panel yang menggunakan cluster random sampling. Setelah terpilih sampel panel, kemudian dilakukan pemasangan people meter di televisi panel yang selalu dievaluasi setiap saat. Rumah tangga panel hanya bisa menjadi panel untuk waktu paling lama 2 tahun saja.
Data yang terekam oleh peoplemeter TVM-5 ini kemudian diambil. Pengambilan data di Indonesia dilakukan melalui dua sistem, yaitu on-line dan off-line. Pada system on-line, data diambil setiap hari antara jam 2 pagi sampai jam 6 pagi melalui sistem transmisi data dengan menggunakan jaringan telepon seluler (GSM) yang diset secara otomatis dan dihubungkan dengan system pengolahan data AGB NMR di Jakarta. Sedangkan untuk system off-line, data direkam ke dalam sebuah modul, dan dilakukan pengambilan setiap seminggu sekali oleh petugas lapangan AGB NMR. Modul ini kemudian dihubungkan dengan pembaca modul di kantor AGB NMR. Proses ini dilakukan setiap hari minggu.
Data yang telah dikumpulkan, kemudian diproses dan diproduksi oleh system Pollux yang berada di server AGB NMR di Jakarta dan juga terkoneksi ke kantor pusat di Switzerland dengan back-up support di Kuala Lumpur. Pollux adalah sistem produksi dan penerimaan data kepemirsaan televisi yang lengkap dan terintegrasi yang mengkombinasikan standar internasional dengan transparansi, dalam arti pelaporan yang luas dan fleksibel pada semua fase produksi datanya. Kemudian data kepemirsaan yang telah diproduksi oleh Pollux menjadi sebuah database yang berisi konsumsi televisi menit per menit yang mewakili populasi. Database ini kemudian digabung dengan data monitoring program dan iklan televisi yang diproduksi oleh sistem monitoring TV Events untuk database di dalam perangkat lunak analisis TV Arianna.
Software Arianna menampilkan data kepemirsaan TV dalam beberapa bentuk modul. Modul Daily Grid, memetakan program, penjadwalan program, atau kompetisis antar stasiun TV yang dilengkapi dengan data rating dan share pada masing-masing program dan paruh waktu. Modul Telegrid, menampilkan jadwal siaran dari stasiun TV tertentu pada periode waktu tertentu. Modul loyalty, merupakan analisis perilaku pemirsa yang memperlihatkan kesetiaannya terhadap program dan stasiun TV tertentu berdasarkan durasi menontonnya. Modul Foresting, Planning, dan Optimizing (FPO), modul ini digunakan untuk pengiklan untuk merencanakan pemasangan iklan pada program tv tertentu.
Keseluruhan proses ini dilakukan oleh AGB Nielsen dengan tujuan menghasilkan data jumlah penonton TV yang mendekati sebenarnya. Karena demikian rumitnya proses survey kepemirsaan TV ini, maka perusahaan pesaing sulit untuk menembus pasar survey kepemirsaan TV di Indonesia. Terlebih lagi belum ada perusahaan survei yang mampu menandingi teknologi survei dari AGB Nielsen di Indonesia. Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya monopoli bisnis jasa survei kepemirsaan TV di Indonesia. Lagipula seandainya ada banyak perusahaan jasa survei kepemirsaan TV di Indonesia, data yang dihasilkan akan sangat mungkin berbeda. Hal itu akan menyebabkan kebingungan stakeholder untuk menggunakan data yang mana. Oleh karena itu, atas kesepakatan tidak tertulis para stakeholder tersebut mempercayakan hasil data rating dan share TV kepada AGB Nielsen.
Survei bukan sekedar kuantitas, namun kualitas
Rating dan share yang dihasilkan oleh AGB Nielsen membuat para stakeholder (TV, Agency, dan Perusahaan Pengiklan) hanya melihat tayangan televisi dari angka-angka tersebut. Rating dan share yang tinggi membuat perusahaan pengiklan dan agencynya akan memasang iklan dalam program tersebut, begitu juga dengan stasiun TV yang dengan suka cita memasangkan program tersebut pada jam sibuk televisi. Dengan demikian maka uang yang akan dihasilkan dari pemasang iklan akan semakin besar.
Menurut Victor Menayang, Ketua KPI pertama di Indonesia, rating telah membuat industri televisi Indonesia masuk ke dalam alur spiral yang makin lama makin menukik kebawah. Logikanya, apabila saya tidak ikut adu goyang dangdut secara vulgar dan merangsang, program saya pasti akan terkubur oleh acara dangdut di TV sebelah.
Namun angka-angka rating dan share yang dihasilkan oleh survei AGB Nielsen menurut penulis juga dapat dikritisi. Selain karena monopoli usaha, yang jelas-jelas melanggar pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, ada beberapa poin yang menurut penulis harus ditinjau kembali yaitu sebagai berikut, Pertama harus adanya pengawasan dari eksternal terhadap survei kepemirsaan TV yang dilakukan AGB Nielsen. Karena praktek monopoli tersebut, AGB Nielsen dipastikan akan menjadi perusahaan yang super power. Perusahaan yang berkuasa penuh atas angka-angka rating dan share, yang seperti dibahas diatas, angka-angka tersebut adalah “Hakim” bagi para pekerja televisi. Selain itu AGB Nielsen bisa saja melakukan kesalahan metodologi dalam melakukan surveinya. Oleh karena itu, untuk menjamin tingkat keakuratan data yang dihasilkan dan menjaga tidak adanya kecurangan dalam survei, maka AGB Nielsen harus diawasi oleh pengawas khusus diluar perusahaan.
Kedua, dalam pemilihan populasi TV dan Panel, harus didasarkan pada profil yang mendekati kenyataan penonton TV di Indonesia. Karena panduan survei menggunakan panduan Internasional, maka dalam pemilihan Populasi TV dan Panel yang dilakukan bisa saja klasifikasi profil penontonnya tidak sama antara Amerika, Eropa, ataupun Indonesia. Sebagai contoh apabila pendapatan diatas $600 dolar di Indonesia dimasukkan kedalam Klasifikasi Profil Upper I, sementara di Amerika atau di Eropa bisa saja klasifikasi profil tersebut masuk kategori Middle I. Hal inilah yang seharusnya disesuaikan dengan kondisi dan realitas di Indonesia. Dengan adanya penyesuaian tersebut, diharapkan hasil yang didapat juga mendekati realitas yang ada.
Ketiga, angka rating dan share yang dihasilkan dari survei AGB Nielsen adalah angka berdasarkan survei kuantitatif. Hal itu hanya digunakan untuk kepentingan komersial saja. Seharusnya dilakukan juga survei yang bersifat kualitatif untuk kebutuhan khalayak yang secara langsung terpapar program-program yang kurang bermanfaat yang hanya mengejar rating dan share. Survei kualitatif ini dibutuhkan untuk menilai mana saja tayangan yang berkualitas dan layak ditonton. Bukan sekedar menghibur, namun juga mendidik. Berdasarkan website KPI, sebenarnya KPI pada tahun 2015 juga telah melakukan survei kualitas TV yang dilakukan di 9 Kota Besar di Indonesia yang bekerjasama dengan 9 universitas terkemuka di Indonesia. Survei dilakukan sebanyak 2 kali pada bulan Maret-April dan survei kedua pada bulan Mei-Juni pada 15 stasiun TV swasta. Pada survei pertama, hasil yang didapat adalah rata-rata tayangan televisi di Indonesia diberikan indeks 3,25, dan itu masih dibawah standar indeks yang ditetapkan KPI sebesar 4,00. Namun ada indeks tayangan program televisi yang dinilai berkualitas oleh responden yaitu acara religi wisata/budaya (indeks diatas 4). Sementara program televisi yang dinilai oleh responden tidak berkualitas adalah variety show, infotainment dan sinetron/film/ftv. Ketiga program tersebut mempunyai indeks kualitas dibawah 3,00. Sementara pada survei kedua yang dilakukan pada bulan Mei-Juni indeks rata-rata tayangan televisi di Indonesia sebesar 3,27. Naik 0,02 dari survei pertama sebesar 3,25. Sementara tayangan yang dinilai responden tidak berkualitas yaitu variety show, infotainment dan sinetron/film/ftv masih tetap memiliki kualitas indeks kurang bagus dibawah 3,00.
Memang sudah seharusnya survei kepemirsaan TV dilakukan tidak hanya mementingkan kuantitas saja, namun kualitas juga harus ditinjau kembali. Hasil survei dari KPI tersebut diharapkan jadi bahan evaluasi untuk meninjau kembali mana saja tayangan program televisi yang layak ditonton oleh masyarakat dan mana yang harus dievaluasi. Tidak hanya mengandalkan laporan dari masyarakat saja KPI mengevaluasi program tayangan TV, namun juga dari hasil Survei yang mereka lakukan. Sehingga secara tidak langsung rating dan share bukan satu-satunya “hakim” dari sebuah tayangan TV, namun juga mempertimbangkan kualitas program tayangan TV itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Panjaitan, Erica L dan Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Butler, Jeremy G. 2012. Television: Critical Methods and Applications 4^th edition. New York: Routledge
Referensi Lain:
Victor Menayang, Moratorium Program Pembodohan Bangsa, Harian Kompas, 15 September 2003.
KPI.Hasil Survei Pertama Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode Maret-April. 2015
KPI.Hasil Survei Kedua Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode Mei-Juni. 2015
Pergulatan dengan angka-angka rating dan share merupakan akibat dari pemahaman bahwa ia identik dengan minat masyarakat pada suatu program. Menurut Direktur Utama trans TV (2006), Ishadi SK, di sebuah tabloid mengatakan bahwa sebuah program yang memiliki rating audience dan share yang tinggi, berarti sangat digemari penonton dan umumnya menarik pemasang iklan. Hal inilah yang menjadikan angka rating dan share ini menjadi amat penting bagi pekerja TV, karena dengan semakin banyak pemasang iklan diprogram televisi mereka, maka semakin banyak uang yang akan dihasilkan dari suatu program.
Secara sederhana rating didefinisikan sebagai presentase dari seluruh orang dalam rumah tangga yang menonton program tertentu saat itu dibandingkan dengan total populasi TV. Sementara share berbeda dengan rating. Share didefinisikan sebagai seluruh orang dalam rumah tangga yang menonton program tertentu saat itu dibandingkan dengan seluruh orang dalam rumah tangga yang menonton TV saat itu.
Begitu pentingnya angka-angka rating dan share ini sehingga membuat para pekerja televisi banting tulang untuk mempertahankan angka ini di level tertinggi. Hal ini karena angka tersebut adalah satu-satunya tolok ukur keberhasilan yang mampu melihat seberapa banyak kecenderungan orang menonton suatu program televisi.
Monopoli Survei Kepemirsaan TV
Rating dan share adalah salah satu hasil dari survei kepemirsaan TV. Di Indonesia satu-satunya perusahaan survei kepemirsaan TV yang sekarang dipercaya oleh para stakeholder (TV, agency iklan, perusahaan pemasang iklan) adalah AGB Nielsen Media Research. Sebenarnya ada perusahaan lain yang bergerak dibidang yang sama, namun karena metodologi yang digunakan nielsen dianggap lebih baik, maka hanya dari perusahaan survei inilah angka rating dan share yang digunakan para stakeholder.
Sebenarnya di Indonesia penyelenggaraan survei rating televisi mulai dirintis oleh Survei Research Indonesia (SRI) sejak 1990. Pada tahun 1994, AC Nielsen perusahaan riset pemasaran terkemuka asal Amerika Serikat—mengakuisisi SRI, sehingga namanya berubah menjadi AC Nielsen-SRI. Selanjutnya beberapa kali perusahaan ini berganti nama. Awalnya, AC Nielsen Media International, kemudian Nielsen Media Research (NMR).
Secara internasional, NMR adalah bagian dari grup perusahaan VNU Media Measurement & Information. Terakhir pada tahun 2004, membentuk join venture dengan AGB, penyelenggara survei kepemirsaan terbesar nomor dua di dunia, sehingga namanya berubah menjadi AGB Nielsen Media Research. Melalui bendera AGB Nielsen Media Research, wilayah surveinya mencakup di 30 negara.
Dalam menjalankan risetnya, AGB Nielsen mengacu pada pandangan global “Global Guidelines for TV Audience Measurement (GGTAM)” yang dibuat oleh Audience Research Method (ARM) Group. Dalam GGTAM survei harus dilakukan melalui tujuh langkah pokok, yaitu: TV Establishment Survey, Pemilihan Panel, Metering Equipment (TVM-5): pemasangan di rumah tangga panel, Pengumpulan Data (On-line Polling), The Production (Pollux System), TV Monitoring, Pengiriman Data (via Arianna).
Secara garis besar ketujuh langkah pokok tersebut dimulai dari TV Establishment Survey dilakukan di wilayah survei dari AGB Nielsen yang saat ini mencakup 11 kota besar, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Solo, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui jumlah populasi TV yang didasarkan pada profil klasifikasi sosial ekonomi dalam masyarakat, yang meliputi pengeluaran rumah tangga, daya listrik, sumber air minum, dan bahan bakar memasak. Dari pengklasifikasian tersebut didapat lima kategori profil yaitu Upper I yang diambil populasi TV nya sebesar 11%, kemudian Upper II sebesar 19%, Middle I sebesar 37%, Middle II sebesar 22%, dan Lower sebesar 10%. Pengambilan populasi TV melalui kategori profil tersebut sama diseluruh negara yang dilakukan surveinya oleh Nielsen dan dibatasi untuk orang yang telah berusia 5 tahun keatas.
Setelah didapat populasi TV, kemudian dilanjutkan dengan pemilihan panel yang menggunakan cluster random sampling. Setelah terpilih sampel panel, kemudian dilakukan pemasangan people meter di televisi panel yang selalu dievaluasi setiap saat. Rumah tangga panel hanya bisa menjadi panel untuk waktu paling lama 2 tahun saja.
Data yang terekam oleh peoplemeter TVM-5 ini kemudian diambil. Pengambilan data di Indonesia dilakukan melalui dua sistem, yaitu on-line dan off-line. Pada system on-line, data diambil setiap hari antara jam 2 pagi sampai jam 6 pagi melalui sistem transmisi data dengan menggunakan jaringan telepon seluler (GSM) yang diset secara otomatis dan dihubungkan dengan system pengolahan data AGB NMR di Jakarta. Sedangkan untuk system off-line, data direkam ke dalam sebuah modul, dan dilakukan pengambilan setiap seminggu sekali oleh petugas lapangan AGB NMR. Modul ini kemudian dihubungkan dengan pembaca modul di kantor AGB NMR. Proses ini dilakukan setiap hari minggu.
Data yang telah dikumpulkan, kemudian diproses dan diproduksi oleh system Pollux yang berada di server AGB NMR di Jakarta dan juga terkoneksi ke kantor pusat di Switzerland dengan back-up support di Kuala Lumpur. Pollux adalah sistem produksi dan penerimaan data kepemirsaan televisi yang lengkap dan terintegrasi yang mengkombinasikan standar internasional dengan transparansi, dalam arti pelaporan yang luas dan fleksibel pada semua fase produksi datanya. Kemudian data kepemirsaan yang telah diproduksi oleh Pollux menjadi sebuah database yang berisi konsumsi televisi menit per menit yang mewakili populasi. Database ini kemudian digabung dengan data monitoring program dan iklan televisi yang diproduksi oleh sistem monitoring TV Events untuk database di dalam perangkat lunak analisis TV Arianna.
Software Arianna menampilkan data kepemirsaan TV dalam beberapa bentuk modul. Modul Daily Grid, memetakan program, penjadwalan program, atau kompetisis antar stasiun TV yang dilengkapi dengan data rating dan share pada masing-masing program dan paruh waktu. Modul Telegrid, menampilkan jadwal siaran dari stasiun TV tertentu pada periode waktu tertentu. Modul loyalty, merupakan analisis perilaku pemirsa yang memperlihatkan kesetiaannya terhadap program dan stasiun TV tertentu berdasarkan durasi menontonnya. Modul Foresting, Planning, dan Optimizing (FPO), modul ini digunakan untuk pengiklan untuk merencanakan pemasangan iklan pada program tv tertentu.
Keseluruhan proses ini dilakukan oleh AGB Nielsen dengan tujuan menghasilkan data jumlah penonton TV yang mendekati sebenarnya. Karena demikian rumitnya proses survey kepemirsaan TV ini, maka perusahaan pesaing sulit untuk menembus pasar survey kepemirsaan TV di Indonesia. Terlebih lagi belum ada perusahaan survei yang mampu menandingi teknologi survei dari AGB Nielsen di Indonesia. Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya monopoli bisnis jasa survei kepemirsaan TV di Indonesia. Lagipula seandainya ada banyak perusahaan jasa survei kepemirsaan TV di Indonesia, data yang dihasilkan akan sangat mungkin berbeda. Hal itu akan menyebabkan kebingungan stakeholder untuk menggunakan data yang mana. Oleh karena itu, atas kesepakatan tidak tertulis para stakeholder tersebut mempercayakan hasil data rating dan share TV kepada AGB Nielsen.
Survei bukan sekedar kuantitas, namun kualitas
Rating dan share yang dihasilkan oleh AGB Nielsen membuat para stakeholder (TV, Agency, dan Perusahaan Pengiklan) hanya melihat tayangan televisi dari angka-angka tersebut. Rating dan share yang tinggi membuat perusahaan pengiklan dan agencynya akan memasang iklan dalam program tersebut, begitu juga dengan stasiun TV yang dengan suka cita memasangkan program tersebut pada jam sibuk televisi. Dengan demikian maka uang yang akan dihasilkan dari pemasang iklan akan semakin besar.
Menurut Victor Menayang, Ketua KPI pertama di Indonesia, rating telah membuat industri televisi Indonesia masuk ke dalam alur spiral yang makin lama makin menukik kebawah. Logikanya, apabila saya tidak ikut adu goyang dangdut secara vulgar dan merangsang, program saya pasti akan terkubur oleh acara dangdut di TV sebelah.
Namun angka-angka rating dan share yang dihasilkan oleh survei AGB Nielsen menurut penulis juga dapat dikritisi. Selain karena monopoli usaha, yang jelas-jelas melanggar pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, ada beberapa poin yang menurut penulis harus ditinjau kembali yaitu sebagai berikut, Pertama harus adanya pengawasan dari eksternal terhadap survei kepemirsaan TV yang dilakukan AGB Nielsen. Karena praktek monopoli tersebut, AGB Nielsen dipastikan akan menjadi perusahaan yang super power. Perusahaan yang berkuasa penuh atas angka-angka rating dan share, yang seperti dibahas diatas, angka-angka tersebut adalah “Hakim” bagi para pekerja televisi. Selain itu AGB Nielsen bisa saja melakukan kesalahan metodologi dalam melakukan surveinya. Oleh karena itu, untuk menjamin tingkat keakuratan data yang dihasilkan dan menjaga tidak adanya kecurangan dalam survei, maka AGB Nielsen harus diawasi oleh pengawas khusus diluar perusahaan.
Kedua, dalam pemilihan populasi TV dan Panel, harus didasarkan pada profil yang mendekati kenyataan penonton TV di Indonesia. Karena panduan survei menggunakan panduan Internasional, maka dalam pemilihan Populasi TV dan Panel yang dilakukan bisa saja klasifikasi profil penontonnya tidak sama antara Amerika, Eropa, ataupun Indonesia. Sebagai contoh apabila pendapatan diatas $600 dolar di Indonesia dimasukkan kedalam Klasifikasi Profil Upper I, sementara di Amerika atau di Eropa bisa saja klasifikasi profil tersebut masuk kategori Middle I. Hal inilah yang seharusnya disesuaikan dengan kondisi dan realitas di Indonesia. Dengan adanya penyesuaian tersebut, diharapkan hasil yang didapat juga mendekati realitas yang ada.
Ketiga, angka rating dan share yang dihasilkan dari survei AGB Nielsen adalah angka berdasarkan survei kuantitatif. Hal itu hanya digunakan untuk kepentingan komersial saja. Seharusnya dilakukan juga survei yang bersifat kualitatif untuk kebutuhan khalayak yang secara langsung terpapar program-program yang kurang bermanfaat yang hanya mengejar rating dan share. Survei kualitatif ini dibutuhkan untuk menilai mana saja tayangan yang berkualitas dan layak ditonton. Bukan sekedar menghibur, namun juga mendidik. Berdasarkan website KPI, sebenarnya KPI pada tahun 2015 juga telah melakukan survei kualitas TV yang dilakukan di 9 Kota Besar di Indonesia yang bekerjasama dengan 9 universitas terkemuka di Indonesia. Survei dilakukan sebanyak 2 kali pada bulan Maret-April dan survei kedua pada bulan Mei-Juni pada 15 stasiun TV swasta. Pada survei pertama, hasil yang didapat adalah rata-rata tayangan televisi di Indonesia diberikan indeks 3,25, dan itu masih dibawah standar indeks yang ditetapkan KPI sebesar 4,00. Namun ada indeks tayangan program televisi yang dinilai berkualitas oleh responden yaitu acara religi wisata/budaya (indeks diatas 4). Sementara program televisi yang dinilai oleh responden tidak berkualitas adalah variety show, infotainment dan sinetron/film/ftv. Ketiga program tersebut mempunyai indeks kualitas dibawah 3,00. Sementara pada survei kedua yang dilakukan pada bulan Mei-Juni indeks rata-rata tayangan televisi di Indonesia sebesar 3,27. Naik 0,02 dari survei pertama sebesar 3,25. Sementara tayangan yang dinilai responden tidak berkualitas yaitu variety show, infotainment dan sinetron/film/ftv masih tetap memiliki kualitas indeks kurang bagus dibawah 3,00.
Memang sudah seharusnya survei kepemirsaan TV dilakukan tidak hanya mementingkan kuantitas saja, namun kualitas juga harus ditinjau kembali. Hasil survei dari KPI tersebut diharapkan jadi bahan evaluasi untuk meninjau kembali mana saja tayangan program televisi yang layak ditonton oleh masyarakat dan mana yang harus dievaluasi. Tidak hanya mengandalkan laporan dari masyarakat saja KPI mengevaluasi program tayangan TV, namun juga dari hasil Survei yang mereka lakukan. Sehingga secara tidak langsung rating dan share bukan satu-satunya “hakim” dari sebuah tayangan TV, namun juga mempertimbangkan kualitas program tayangan TV itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Panjaitan, Erica L dan Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Butler, Jeremy G. 2012. Television: Critical Methods and Applications 4^th edition. New York: Routledge
Referensi Lain:
Victor Menayang, Moratorium Program Pembodohan Bangsa, Harian Kompas, 15 September 2003.
KPI.Hasil Survei Pertama Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode Maret-April. 2015
KPI.Hasil Survei Kedua Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode Mei-Juni. 2015
Komentar
Posting Komentar