Sebenarnya tututan para sopir taksi ini sederhana, yaitu menutup aplikasi online angkutan Uber dan Grab Car. Namun tentu tuntutan itu juga harus dilihat dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari satu sudut pandang para sopir yang penghasilannya tergerus setelah kemunculan Uber dan Grab Car. Pemerintah pun dalam hal ini Kementerian Perhubungan berhati-hati dalam menanggapi tuntutan ini. Mungkin pemerintah tidak mau malu untuk yang kedua kalinya, setelah beberapa bulan yang lalu kementerian Perhubungan sempat mengeluarkan surat kepada Kementerian Kominfo yang intinya meminta menutup aplikasi online Gojek. Namun tidak sampai 24 Jam sejak surat tersebut dikirim, Presiden Joko Widodo kemudian memanggil Menteri Perhubungan untuk meminta agar surat tersebut segera dicabut. Belajar dari pengalaman ini pemerintah melalui Kementerian Perhubungan tidak serta merta memenuhi tuntutan dari para pendemo tersebut.
Dari sudut pandang para pelaku jasa transportasi berbasis aplikasi online ini, mereka beranggapan bahwa mereka hadir untuk membantu masyarakat menyelesaikan permasalahan transportasi. Mulai dari mengurangi waktu menunggu datangnya alat transportasi, efisiensi pemesanan melalui aplikasi online yang bisa di akses dari smartphone, dan yang paling mengagumkan adalah tarif transport yang lebih murah dibandingkan dengan transportasi konvensional. Semua sudut pandang diatas mempunyai argumentasinya masing-masing. Namun tentu kita harus melihatnya secara global, tanpa mengabaikan keluhan pengemudi transportasi konvensional dan juga memaklumi adanya perkembangan teknologi yang tentunya mengarah kepada adanya digitalisasi ekonomi.
Digitalisasi Ekonomi
Menurut Don Tapscott dalam bukunya yang berjudul “The Digital Economy” dikatakan bahwa Anda tidak harus menguasai teknologi untuk memenangkan pertarungan di era ekonomi baru ini, anda cukup perlu memahami pergeseran utama dari ekonomi yang sedang terjadi dan anda harus memastikan bahwa organisasi anda dapat mencapai itu.^1
Dengan semakin maraknya perkembangan teknologi seperti sekarang ini, hal ini berarti bahwa sumber-sumber ekonomi akan dapat dengan mudah di digitalisasi. Kita lihat toko jual beli online yang menyediakan tempat untuk memasarkan produk kita secara gratis. Dengan memasukkan barang yang hendak kita jual di toko online tersebut, berarti secara tidak langsung kita sudah melakukan digitalisasi ekonomi. Bahkan bisa dibilang kita tidak memerlukan kemampuan khusus untuk melakukan itu, karena semua menu dalam toko online tersebut sudah jelas langkah-langkahnya. Kita lihat saja olx.co.id yang dahulu bernama tokobagus.com sebagai pelopor toko online di Indonesia yang sudah memiliki lebih dari 4,5 juta barang yang diiklankan lewat situs jual beli ini.
Konsep digitalisasi ekonomi ini jugalah yang dilihat oleh Uber dan Grab Car serta Gojek. Mereka berusaha membawa bisnis jasa transportasi ke dalam dunia digital. Sistem kerja jasa transportasi yang semula masih konvensional, menunggu taksi dipinggir jalan raya, mendatangi ojek pangkalan, atau menelpon taksi dengan biaya pulsa yang tidak murah, yang jika dilihat lebih dalam kesemuanya lebih menekankan pada konsumen yang lebih membutuhkan jasa transportasi itu. Padahal sebenarnya antara pelaku usaha jasa transportasi dan konsumen sendiri keduanya sama-sama membutuhkan. Tidak ada yang lebih dominan dari yang lainnya. Namun dengan hadirnya digitalisasi ekonomi seperti sekarang ini, berlaku lagi teori ekonomi yang menjelaskan secara lebih detail mengenai ekonomi baru.
Ketika seseorang ingin membeli barang, biasanya menghabiskan waktu dan uang untuk mencarinya, membandingkannya dengan produk lain, menawar harga, dan memastikan kita akan mendapatkan yang kita bayar. Inilah biaya transaksi yang biasanya dianggap wajar dan harus dibayar konsumen di dunia ekonomi lama. Internet dan teknologi digital telah lahir dan memangkas semua prosedur itu.
Kegiatan membandingkan harga dan layanan diambil alih oleh algoritma berbasis web. Semua orang bisa memakainya gratis. Orang-orang yang telah memakai produk atau jasa bisa berbagi pengalaman dan kisah. Pada akhirnya, banyak konsumen yang menjadi pelanggan dari sebuah produk atau jasa merupakan gabungan dari mencari harga murah dan membeli pengalaman. Dari hanya sekadar membeli pengalaman inilah, ekonomi digital terpicu dan berkembang mewujud sebagai ekonomi baru yang mapan. Internet telah memangkas banyak ongkos transaksi, membuatnya lebih murah, terjangkau semua pihak, luwes, dan masif. Teknologi digital pada akhirnya memompa pertumbuhan bisnis, memperlebar peluang, dan meningkatkan mutu layanan.
Sementara Bank Dunia dalam laporannya berjudul “World Development Report 2016: Digital Dividends” dengan jelas menggambarkan persoalan tumbuhnya ekonomi baru ini.^2
Apa yang terjadi di Indonesia sebenarnya khas negara berkembang yang sedang berinisiatif menuju ekonomi digital. Pertentangan antara bisnis konvensional versus bisnis digital menjadi tanda belum pastinya medan kompetisi yang fair untuk semua. Bahkan di negara maju sekalipun seperti paris dan Amerika pertentangan bisnis inipun masih terjadi.
Dalam ekonomi digital ini, individu dan perusahaan menciptakan kekayaan dengan menerapkan pengetahuan, jaringan manusia,dan usaha untuk membuat manufaktur, pertanian, dan jasa. Dalam tahap awal digital ekonomi ini, para pemain, dinamika, aturan dan persyaratan untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan bisnis semua berubah.^3
Oleh karena itu pemerintah diminta untuk turun tangan menengahi permasalahan ini. Bukan hanya berfokus pada masalah melerai persaingan bisnis ini, tetapi harus mengatur regulasi yang sesuai dan menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu pemerintah juga disarankan untuk mendorong perusahaan konvensional agar bertransformasi menjadi perusahaan yang lebih modern dan mengikuti perubahan sosial yang terjadi akibat adanya perkembangan teknologi yang ada.
Perubahan Sosial
John J. Macionis (2012) menyebutkan adanya karakteristik perubahan sosial, yaitu sebagai berikut:^4
Perubahan sosial terjadi di setiap masyarakat, dan sepanjang waktu. Jaman dahulu alat transportasi tidak bermesin, seperti becak dan delman. Selanjutnya karena semakin murahnya harga mesin maka berkembang lagi menjadi kendaraan bermotor, bus kota, dan bajaj. Selanjutnya muncul taksi dengan layanan yang ramah. Kemudian karena adanya perkembangan teknologi dengan munculnya internet dan smartphone, maka berkembang lagi cara mendapatkan alat transportasi dengan adanya gojek, uber, dan grab. Perubahan sosial tersebut merupakan sebuah keniscayaan dan harus dihadapi karena memang tidak bisa kita cegah. Terlebih karena dorongan perkembangan teknologi yang sudah tidak terbendung lagi.
Perubahan sosial terkadang dapat diketahui, namun seringkali tidak direncanakan dan berkembang pada arah yang sulit dikontrol. Dengan munculnya smartphone dan dengan mudah kita dapat mengunduh banyak aplikasi didalamnya, sebenarnya kita sudah dapat memprediksi bahwa angkutan berbasis online ini akan segera booming. Dari segi kecepatan dan efektivitas pemesanannya jelas jasa transportasi online menang telak dari jasa transportasi konvensional. Ditambah lagi harga yang lebih murah dibandingkan dengan yang konvensional menjadikan jasa transportasi ini menjadi pilihan pertama konsumen. Namun demikian perubahan yang begitu drastis ini tidak dapat diterima begitu saja oleh sebagian masyarakat yang lain yang belum dapat mengikuti perubahan yang terjadi. Hal inilah yang menyebabkan perubahan sosial tidak dapat dikontrol dengan adanya demo yang anarkis.
Perubahan sosial seringkali melahirkan kontroversi, terutama karena memperoleh variasi pemaknaan yang saling bertentangan. Dalam setiap perubahan sosial pasti akan ada pihak yang merasa dirugikan. Dengan demikian mereka yang merasa terancam tentu akan melakukan segala upaya agar kenyamanan yang selama ini mereka peroleh tidak terganggu. Hal ini juga yang dulu berlaku untuk becak di Ibukota. Ketika becak mulai dihapuskan dari ibukota sekitar tahun 1985an, banyak pengemudi becak merasa tidak puas dengan keputusan Pemda DKI tersebut. Di medan, Taksi Blue Bird ditolak masuk bandara Polonia pada saat awal kemunculannya di tahun 2010 saat itu. Namun seiring dengan berpindahnya bandara Polonia Medan ke KualaNamu, sekarang Blue Bird masih menjadi pilihan pertama di Medan. Hal ini jugalah yang sekarang ini terjadi, jika dahulu di Medan Blue Bird yang didemo karena mengikis pendapatan sopir taksi lokal, namun justru sekarang Blue bird lah yang berdemo karena merasa terkikis pendapatannya karena munculnya Uber dan Grab Car ini.
Perubahan sosial boleh jadi menguntungkan pihak-pihak tertentu, tetapi dalam waktu yang bersamaan justru dapat merugikan pihak-pihak tertentu yang lainnya. Bisa jadi perubahan sosial yang terjadi saat ini pemenangnya adalah Uber dan Grab Car. Sementara pihak yang dirugikan adalah para pengemudi taksi konvensional. Namun selama teknologi informasi dan komunikasi masih berkembang, tidak ada yang bisa memprediksi siapa yang akan menjadi pemenang selanjutnya dalam bisnis yang mengutamakan digitalisasi ekonomi ini. Seperti kata Don Tapscott (2015) diatas, kita tidak perlu ahli dalam teknologi informasi dan informasi, cukup kita memahami pergeseran ekonomi yang sedang terjadi dan memastikan kita berada dijalurnya.
Sementara William Ogburn (1927) seorang sosiolog yang mencetuskan teori fungsionalis menganggap perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Demikian juga dengan keberadaan jasa transportasi yang menggunakan aplikasi online ini. Memang sesuatu yang pada awalnya berbeda dengan kebiasaan, tentu akan mengundang banyak penolakan. Demo sopir taksi adalah contoh kecil dari penolakan tersebut. Kekurangmampuan mereka beradaptasi secara cepat dengan teknologi baru yang hadir tentu akan menimbulkan ketertinggalan dalam segala hal. Dalam istilah Ogburn hal yang seperti ini disebut sebagai cultural lag.^5
Cultural lag antara jasa transportasi online dengan konvensional inilah yang menjadi ranah pemerintah untuk menyelesaikannya. Pemerintah Provinsi DKI jakarta dan kementerian perhubungan sebagai regulator memang sudah memberikan tenggang waktu sampai dengan Mei 2016 kepada uber dan grab car untuk melengkapi persyaratan usaha jasa transportasi. Diantaranya adalah Mereka harus membangun kerja sama dengan perusahaan rental resmi atau koperasi, memastikan semua kendaraan lolos uji kelayakan kendaraan (KIR) dan mendapatkan sertifikat KIR serta memastikan semua pengemudi memiliki SIM A Umum. Sementara gojek tidak dilakukan tindakan serupa karena menurut pemerintah bukan termasuk alat transportasi, sehingga belum diatur oleh undang-undang.
Diharapkan dengan adanya aturan dan regulasi yang jelas dalam bisnis jasa transportasi yang telah digitalisasi ini, maka diharapkan tidak ada lagi pertentangan yang akan terjadi. Dan dengan sendirinya para pengemudi transportasi konvensional tersebut dapat menyeseuaikan diri dengan perubahan sosial yang sudah mulai terjadi.
Adaptasi Teknologi
Pada dasarnya, konsep dalam digitalisasi ekonomi bisnis jasa transportasi ini adalah memanfaatkan idle capital untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Hal ini seperti diungkapkan Rhenald Kasali, Guru Besar Ilmu Manajemen UI, dalam tulisannya yang berjudul “Selamat Datang Sharing Economy”.^6 Lebih lanjut dijelaskan bahwa transportasi berbasis konvensional ini akan segera usang dengan datangnya transportasi berbasis online. Seperti kata charles darwin, bukan yang terkuat yang akan bertahan, namun yang mampu beradaptasi dengan perubahan.
Penulis setuju dengan pendapat pakar manajemen diatas, karena sudah banyak bukti yang ikut mendukung pendapatnya. Kita ambil contoh tutupnya Pabrik Panasonic di Indonesia. Menurut Chairman Panasonic Gobel Group, Rachmat Gobel, produk lampu buatan panasonic sudah kalah bersaing dengan produk impor asal cina. Produk bohlam lampu sudah mulai ketinggalan zaman, sehingga harus diganti dengan produk lampu LED (Light Emmiting Diode). Oleh karena itu Panasonic sedang merestrukturisasi pabriknya untuk menyesuaiakan perkembangan teknologi yang ada dan mulai membuat lampu LED. Contoh kecil inilah yang dilakukan panasonic untuk mulai beradaptasi dengan teknologi baru yang selalu menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Bisnis travel agen juga mulai mengalami degradasi omset setelah munculnya bisnis serupa yang mulai beradaptasi dengan teknologi baru. Munculnya Traveloka.com, Tiket.com, Trivago.com dan sebagainya adalah contoh dari bisnis yang bisa melihat perkembangan teknologi dan mampu mengadaptasinya. Hal serupa juga terlihat dalam berbagai bisnis lainnya, seperti media cetak yang mulai beralih ke mdia online, pesan SMS yang mulai jarang digunakan karena sudah tersedia aplikasi chatting berbasis kuota internet.
Demikian semestinya yang harus dilakukan oleh para pelaku jasa transportasi konvensional. Adaptasi teknologi mutlak diperlukan jika mereka ingin bertahan dalam persaingan bisnis jasa transportasi ini. Kedepan apabila bisnis jasa transportasi online ini sudah memenuhi persyaratan dari pemerintah dan sudah diakui secara resmi, bukan tidak mungkin bisnis transportasi konvensional ini benar-benar akan mati. Persaingan yang sehat sudah terjadi dengan dilengkapinya seluruh persyaratan dari regulator transportasi, namun karena ketidakmampuan beradaptasi dengan teknologi yang ada, lama-kelamaan bisnis transportasi konvensional akan ditinggalkan oleh konsumen.
Daftar Referensi:
Don Tapscott. The Digital Economy. 2015
http://www.worldbank.org/en/publication/wdr2016
Don Tapscott. The Digital Economy. 2015
John J. Macionis. Sociology 14th Edition. 2012
http://www.ssbelajar.net/2012/08/ciri-ciri-dan-karakteristik-perubahan.html
Rhenald Kasali. Selamat Datang Sharing Economy. Koran Sindo: 2016
Komentar
Posting Komentar