KRITERIA MEDIA MASSA

KRITERIA MEDIA

Tema utama yang menjadi perhatian para peneliti komunikasi dalam buku Denis McQuail (2010:94) dibagi menjadi 4 Tema besar, Yaitu: Kekuatan dan Ketidaksetaraan, Integrasi Sosial dan Indentitas, Perubahan dan Perkembangan Sosial, dan Ruang dan Waktu. Untuk saat ini saya akan menjelaskan tentang tema Kekuatan dan Ketidaksetaraan.
KEKUATAN DAN KETIDAKSETARAAN
Menurut Denis McQuail (2010), Media selalu berhubungan dengan struktrur politik dan ekonomi. Hal itu terbukti karena:
1.        Media yang memiliki nilai ekonomis merupakan objek kompetisi bagi control dan akses. Tidak dipungkiri lagi, bahwa media adalah salah satu alat untuk menarik dan mengarahkan perhatian public. Dengan adanya media, para pemilik media bisa dengan mudah mendapatkan akses kepada public sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dengan demikian mereka bisa dengan mudah mengatur agenda/isu apa yang akan diangkat dalam media miliknya yang tentu saja disesuaikan dengan kepentingan klien.  
2.        Media merupakan subjek politik, ekonomi, dan hukum. Karena melalui media lah politik, ekonomi, dan hukum berkembang dalam realitas di masyarakat. Sehingga masyarakat menganggap bahwa media merupakan bagian dari ketiga ilmu tersebut.
3.        Media massa merupakan alat paling efektif bagi kekuasaan dengan kemampuan yang potensial untuk mempengaruhi dengan berbagai cara. Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa media menjalankan fungsi persuasive opini. Media juga memberikan Informasi secara cepat dan efektif serta jangkauannya yang luas sehingga dapat merangkul banyak kalangan. Dengan demikian agenda social, politik, ekonomi, dan hokum dapat dengan mudah dibawa melalui media dan diterima masyarakat sehingga menganggap isu apa yang dibawakan media adalah sesuatu yang penting.
4.        Media massa tidak dimiliki oleh semua kelompok atau kepentingan. Hal ini cukup terlihat jelas dari adanya blok-blok media massa di Indonesia. Media terutama di Indonesia memang menjalankan fungsi jurnalisme, namun juga memiliki agenda tersendiri yang jelas tidak bisa lepas dari control pemiliknya.
Namun secara umum McQuail membagi media menjadi 2, yaitu media dominan dan media pluralis yang akan dijabarkan sebagai berikut:
1.        Media Dominan, berasal dari kelas elit yang dominan. Medianya seragam dan dibawah kepemilikan yang terpusat, bisa pribadi atau kelompok. Biasanya memiliki publikasi yang rutin dan sudah terstandar. Isinya pun selektif dan tergantung pimpinan media tersebut. Audiencenya pun pasif dan biasanya dalam skala besar. Efek yang ditimbulkan oleh media jenis ini kuat dan mampu menjaga stabilitas tatanan social yang sudah mapan.
Di Indonesia sendiri media dominan mungkin dapat dilihat pada konteks era orde baru. Media saat (Surat kabar, TV, Radio) selalu memberitakan keberhasilan orde baru, mulai dari repelita (rencana pembangunan lima tahun), Indonesia Swasembada pangan, atau harga sembako yang murah. Konten berita harus selalu disesuaikan dengan keinginan pemerintahan saat itu. Apabila ada yang menyimpang atau memberitakan keburukan pemerintahan saat itu, maka media tersebut akan dicekal. Bahkan pada tanggal 26 Januari 1978, tujuh pimpinan redaksi media massa, yaitu: Kompas, The Indonesian Times, Pelita, Sinar Harapan, Merdeka, Sinar Pagi, dan Pos Sore mengirimkan surat permintaan maaf kepada Presiden Soeharto agar medianya mendapatkan surat ijin terbit kembali, setelah beberapa saat dicekal pemerintah karena pemberitaan miring kepada pemerintah. Contoh lainnya ketika pada maret 1998, Cover majalah D&R memasang wajah Soeharto sebagai King dalam kartu remi. Akibatnya pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana majalah diperiksa polisi. Namun berkasnya tidak sampai diproses karena belum sampai 2 bulan setelahnya Soeharto mengundurkan diri

2.        Media pluralis, merupakan versi ideal bagi terciptanya liberalism dan pasar bebas.  Media ini berdiri sendiri-sendiri dan mandiri dalam segala hal, termasuk dalam pemikirannya. Orang-orang dalam media ini dianggap memiliki otonomi yang terpisah dengan Negara, partai politik, dan kelompok-kelompok tertentu sehingga media ini dinilai independen yang bebas dari kekuatan ekonomi politik tertentu atau pemerintah. Publikasi media ini biasanya sangat kreatif, bebas, dan orisinil karena menyesuaiakan kepentingannya masing-masing. Konten dan isinya pun beragam dan saling bersaing tergantung permintaan khalayak. Informasi yang disajikan media ini biasanya tidak dikonstruksi, semua informasi dianggap mengandung pengetahuan yang positif yang menyampaikan fakta dan kebenaran sehingga bisa memberikan informasi kepada public untuk bertindak Media ini memiliki khalayak/audience  yang terbagi-bagi, selektif, dan cenderung aktif dan reaktif. Mereka dianggap memiliki kemampuan untuk memilih berita/media sesuai dengan yang mereka butuhkan.  
Sebagai ilustrasi menurut pendapat penulis bahwa media jenis ini hanya ada pada saat awal era reformasi pada akhir tahun 1998, dimana rezim orde baru mulai runtuh. Saat itu media dianggap dapat mengisi kekosongan ruang public yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, media memainkan peran sentral dalam menyebarluaskan informasi dan memfasilitasi pembentukan opini public dalam rangka mencapai consensus bersama dalam mengontrol kekuasaan Negara. Setelah reformasi bergulir 1998, media di Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena ini ditandai dengan munculnya media-media baru cetak maupun elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru media di Indonesia
Namun saat ini menurut pandangan penulis, di Indonesia sudah tidak ada media yang benar-benar dominan atau benar-benar pluralis, yang ada hanyalah gabungan keduanya. Dominan karena media sekarang ini cenderung dikuasai oleh beberapa kalangan saja, sebut saja Group Bakrie dengan TV one, ANTV, Viva.co.id,dll,; atau Media Group pimpinan Surya Paloh dengan Metro TV, Media Indonesia; atau MNC Group dengan pimpinan Hary tanoe yang memiliki MNC TV dan RCTI. Selain itu pimpinan media tersebut adalah ketua umum partai politik, sehingga media digunakan untuk mengembangkan posisi diri dan partainya untuk mendukung tujuan politiknya. Hal ini jelas tertolak apabila dimasukkan dalam media pluralis karena control pimpinan media terlihat jelas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sudah tidak ada lagi media yang benar-benar netral dalam menyuarakan kepentingan khalayak/audience. Informasi yang disebar pun sudah dibumbui agenda politik pemilik media, walaupun hanya secara implisit. Sehingga sekarang pemahaman akan informasi yang disediakan media sepenuhnya diserahkan kepada khalayak, apakah akan sepenuhnya menerima informasi yang diberikan salah satu media saja, atau mencari second opinion.

Prinsip Kebebasan Media
Menurut McQuail Arti dari Kebebasan Media adalah sebuah kondisi, bukan kriteria tertentu atas struktur dan kinerja media. Dengan demikian agar tercipta “kondisi” seperti yang dikatakan oleh McQuail  membutuhkan kerja keras dari seluruh orang yang terlibat dalam media. Namun dalam kenyataannya, media tidak bisa bebas murni terutama Media di Indonesia. Ada hal lain yang mempengaruhi kebebasan media tersebut, terutama menyangkut budaya dan norma sosial yang dianut masyarakat, terutama masyarakat di Indonesia.
Namun sebelumnya McQuail juga membedakan antara kebebasan media dan kebebasan berekspresi, walaupun terkadang maknanya sama. Kebebasan berekspresi merujuk pada substansi dari konten yang dikomunikasikan terkait opini, ide, informasi, seni, dan sebagainya. Sementara kebebasan pers merujuk pada suatu wadah yang terikat hukum dan memiliki hak dan kewajiban sebagai mediator antara realitas social yang ada dengan audiencenya.
Ada dua kebebasan media yang dibahas dalam skema diatas, yaitu kebebasan pada tingkat structural dan kebebasan pada tingkat kinerja.
1.    Kebebasan Pada Tingkat Struktural  
Kebebasan Berkomunikasi memiliki dua aspek penting, yaitu dapat memberikan banyak kesempatan berbicara dan respon terhadap adanya kebutuhan dan tuntutan. Harus ada akses terhadap saluran berekspresi dan adanya kesempatan untuk menerima berbagai jenis informasi. Kebebasan media pada tingkat structural mengacu pada system media, yaitu berkaitan dengan organisasi, keuangan, kepemilikan, bentuk peraturan, infrastruktur, dan sebagainya. Dengan demikian maka digambarkan kebebasan media yang efektif pada level structural adalah sebagai berikut
  1. Tak adanya sistem sensor, perizinan, atau kontrol apapun dari pemerintah sehingga semua bebas mempublikasikan berita dan opini tanpa terkecuali.
  2. Hak dan kesempatan yang setara bagi masyarakat untuk mengakses semua saluran informasi, sebagai hak untuk berkomunikasi
  3. Kemandirian atas adanya control yang berlebihan dari pemilik, kepentingan politik, atau ekonomi dari luar.
  4. System yang kompetitif untuk membatasi konsentrasi kepemilikan media.
  5. Kebebasan media untuk memperoleh informasi dari sumber apapun yang relevan.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa hal tersebut tidak bisa seluruhnya berlaku di Indonesia. Perhatian penulis tertuju pada point (a) yang berkaitan dengan tidak adanya system sensor, perizinan, atau control apapun dari pemerintah dalam hal publikasi. Menurut pendapat penulis hal ini hanya bisa dilakukan dalam system barat dan tidak berlaku di Indonesia. Karena di Indonesia masih menganut norma-norma adat istiadat dan budaya ketimuran. Dalam hal sensor, Indonesia masih membutuhkannya untuk menjaring konten-konten negative (seperti kekerasan, pornografi, atau narkoba) yang mungkin muncul dalam publikasi media, terutama televisi dan media baru (Internet).
Sebagai Contoh: Tayangan  YKS di Trans TV akhirnya dihentikan oleh KPI karena adanya aduan dari banyak masyarakat tentang banyaknya anak-anak yang terpengaruh dengan joget Caesar. Terlebih lagi acaranya ditanyangkan di jam sibuk TV. Hal itu dianggap oleh orang tua mengganggu jam belajar anak. Hingga akhirnya KPI memutuskan untuk menghentikan  acara tersebut. Juga untuk acara-acara non live yang memuat kata kurang sopan di silent seperti Stand Up Comedy dan berita-berita pembunuhan yang menampilkan darah dan jenasah seperti Reportase  Trans TV, Delik RCTI, dan focus Indosiar, dilakukan pemburaman gambar karena melanggar P3SPS Pasal 8,17, dan pasal 25 mengenai penyajian gambar yang bisa menyebabkan ketidaknyamanan khalayak.
Poin selanjutnya yang dibahas adalah point (e) yaitu mengenai kebebasan media untuk memperoleh informasi apapun dari sumber yang relevan. Kebebasan seperti ini seolah-olah bahwa media harus mendapatkan sumber apapun, bagaimana caranya. Media membawa kepentingan public, padahal sebenarnya hanya mencari rating berita. Maka Kebebasan media seperti ini menurut hemat penulis tidak bisa berlaku secara mutlak di Indonesia.
Sebagai Contoh:  dalam rangka penangkapan teroris di Solo, wartawan TV yang ikut dalam peliputan tidak boleh menyiarkan beritanya secara langsung. Harus lewat seleksi dari kepolisian terlebih dahulu karena dikhawatirkan akan mengganggu penyelidikan berikutnya, atau bahkan tidak boleh disiarkan apabila itu menyangkut rahasia penyelidikan.
2.        Kebebasan Pada Tingkat Kinerja
Media posisinya adalah untuk mewakili public. Tujuannya adalah memberikan gambaran ketidakadilan, pengawasan, dan hak public. Dengan media diharapkan mengikuti kebijakan editorial yang aktif dan kritis namun juga harus menyediakan informasi yang terpercaya dan relevan. Media yang bebas tidak harus selalu menyesuaiakan dengan kepentingan secara berlebihan yang ditandai dengan keberagaman opini dan informasi. Media sebenarnya ditujukan untuk menjadi watchdog (Anjing Penjaga, red) dengan mengambil posisi di tengah, tanpa kompromi (McQuail, 2010) . Kondisi kebebasan juga harus mengarah kepada orisinalitas, kreativitas, dan keberagaman informasi. Media yang bebas juga merupakan pilihan jika diperlukan untuk menghadang perubahan yang terhadap adanya pandangan yang kontroversional dan menyimpang dari hal yang seharusnya. Dengan demikian semakin banyak kualitas konten yang disebutkan tidak ada, maka semakin tidak relevan media tersebut karena kondisi strukturalnya yang tidak memenuhi kebebasan media.
Sebagai contoh: Dalam pemilu presiden tahun 2014, terjadi pertarungan antara jokowi dan prabowo banyak lembaga survey yang merilis hasil pemilu beberapa jam setelah pencoblosan. Diantaranya LSI (53,37%) dan CSIS (51,9%) yang memenangkan Jokowi. Sementara Puskaptis (52,05%) dan LSN (50,56%) memenangkan Prabowo Tentu saja lembaga survey tersebut didukung oleh TV pendukung masing-masing pasangan, bahkan terlalu over expose. Namun yang menarik adalah hasilnya bisa berbeda 180° antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan kebebasan media belum berfungsi.

Hubungan kebebasan media pada tingkat structural dan kinerja dapat digambarkan pada skema berikut:



Prinsip Kebebasan


Kondisi Struktural

Kemandirian Terhadap Saluran
Akses Terhadap Saluran
Keragaman Konten

Merujuk Pada Nilai Kinerja

Kehandalan, Sikap Kritis, dan Orisinalitas

Pilihan, Perubahan, Relevansi


Pandangan penulis terhadap Hubungan kebebasan media pada tingkat structural dan kinerja adalah sebagai berikut:
Kebebasan pada tingkat structural akan mempengaruhi kebebasan pada tingkat kinerja. Media sebagai sebuah watch dog akan berfungsi secara penuh apabila organisasinya memiliki kemandirian dalam membuat publikasi yang bebas dari campur tangan pemilik secara berlebihan. Juga adanya jaminan atas akses informasi yang didukung dengan adanya jaminan UU perlindungan pers, namun tentu saja yang bukan menyangkut rahasia Negara. Media yang bebas juga harus memperhatikan keberagaman konten, dengan memuat publikasi dari segala sudut pandang. Atau minimal apabila memihak pada salah satu sisi, harus menghadirkan pendapat dari sisi lainnya. Karena pada dasarnya media tidak mungkin bisa bebas murni, terutama media di Indonesia. 
Kebebasan dalam tingkatan structural diatas berpengaruh pada kinerja dari media itu sendiri. Dengan adanya control yang tidak berlebihan dari pemilik media atau pihak yang berkepentingan, dapat dipastikan wartawan atau ujung tombak media akan bertahan dalam sikapnya yang kritis. Berita yang dimuat pun handal dan dapat dipercaya serta orisinalitasnya pun sudah pasti dapat dipertanggungjawabkan. Wartawan dapat menentukan pilihan informasi mana yang seharusnya ditayangkan untuk memberikan hak informasi public. Dengan demikian perubahan social yang terjadi dapat terekam secara jelas dan runut berdasarkan historisitasnya. Dan akhirnya informasi yang dihadirkan pun memiliki nilai berita yang relevan dengan kondisi yang ada saat dimana informasi itu disebarkan kepada khalayak.
Namun itu semua adalah sebuah ironis yang tidak berlaku di Indonesia. Kebebasan media seolah-olah dibungkam oleh kepentingan masing-masing pemilik media. Adanya tekanan politik dan ekonomi sangat besar dampaknya bagi kebebasan media. Terlebih lagi apabila pemilik media adalah ketua umum partai politik, seperti TV One dengan Abu Rizal Bakrie, atau Surya Paloh dengan Metro TV, dan pendatang baru MNC TV dengan Hary Tanoe. Sudah dapat dipastikan bahwa informasi yang disebarkan dari media-media tersebut pasti tidak berimbang. Informasi yang disajikan akan selalu condong sebelah menyesuaiakan kepentingan pemilik, terutama menjelang pilkada atau pemilu presiden.

KERANGKA AKUNTABILITAS MEDIA
Kerangka Akuntabilitas Media menurut Dennis McQuail (2010) adalah sebagai berikut:
1.    The frame of Law and Regulation (kerangka Hukum dan Peraturan)
Tujuan dari kerangka ini adalah untuk menciptakan dan memelihara kondisi interkomunikasi yang bebas dan luas di dalam masyarakat.Selain itu kerangka ini juga menjaga karya-karya public lebih menarik dan juga membatasi permasalahan yang mungkin terjadi akibat adanya kepentingan pribadi dan kepentingan public.
Mekanisme yang berlaku dalam kerangka ini biasanya terdiri dari dokumen yang memberikan aturan tentang boleh tidaknya media melakukan sesuatu yang digabung dengan peraturan baku dan prosedur yang harus dilaksanakan sesuai ketentuan yang sudah diatur dalam regulasi. Isu utama yang sedang dibahas dalam kerangka ini adalah mengenai hal-hal yang menyangkut baik dan buruknya pengaruh media, terutama media elektronik. 
Kelebihan dari kerangka ini adalah adanya kekuatan untuk menegakkan tuntutan, juga kontrol demokratis secara politis, batas-batas kebebasan dan ruang lingkup regulasi yang jelas, serta antisipasi akan hukuman yang dapat berfungsi seperti sensor. Kelemahannya adalah adanya potensi konflik antara tujuan melindungi kebebasan publikasi dan membuat media akuntabel, serta lebih mudah diterapkan pada struktur daripada konten. Hukum dan peraturan sering tidak efektif, sulit ditegakkan, efek jangka panjang tak terduga, dan kesulitan mengubah atau menghapus aturan yang usang, juga dapat menjadi bagian dari sistem kepentingan pribadi. (McQuail, 2010: 210)
Di Indonesia, dasar dari kerangka ini termuat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, antara lain dalam pasal 28F, yang disebutkan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Aturan turunan dari amanat UUD tersebut diwujudkan salah satunya dalam bentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 UU tersebut menyebutkan hak-hak pers tentang kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi warga negara; tidak diperkenakannya penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran terhadap pers nasional; pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; serta Hak Tolak wartawan dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Undang-Undang lain dalam kerangka ini adalah UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

2.    The Market Frame (Kerangka Pasar)
Pasar tidak selalu dilihat sebagai mekanisme akuntabilitas public, tapi pada praktiknya pasar dianggap sebagai penyeimbang anatara kepentingan media dan produser dengan kepentingan rekanan dan konsumen (audience). Mekanisme yang berlaku normal dalam kerangka pasar ini adalah adanya permintaan dan penawaran yang berada dalam pasar bebas yang kompetitif, sehingga berlaku asas mendorong kinerja yang baik, dan menyisihkan kinerja yang buruk. Focus utama dari kerangka pasar ini adalah pada aspek “kualitas” komunikasi seperti yang dilihat konsumen. Kualitas ini juga tidak hanya berhubungan dengan konten, tetapi juga dengan kualitas teknis.
Kelebihan pendekatan ini adalah tidak adanya paksaan, serta adanya hukum penawaran dan permintaan yang memastikan kepentingan produsen dan konsumen seimbang. Sistem ini dapat mengatur dan mengoreksi diri sendiri tanpa regulasi atau kontrol luar. Keterbatasan kerangka ini adalah media terlalu 'dikomersilkan', diselenggarakan untuk tujuan keuntungan daripada komunikasi dan kurang adanya standar kualitas. Ini justru membuat pasar tidak dapat mengoreksi diri sendiri. Keterbatasan lain adalah jarangnya ada pasar sempurna dan keuntungan teoritis yang tidak terrealisasi. Tidak ada penyeimbang efektif untuk praktik media yang hanya bertujuan memaksimalkan keuntungan jangka pendek dimana monopoli swasta berkembang. Kebebasan dan kualitas media pada akhirnya adalah kebebasan dan kesejahteraan pemilik media (McQuail, 2010:211).
Sebagai ilustrasi bisa diperbandingkan kualitas isi dan kualitas teknis yang dimiliki majalah pertanian Trubus dan majalah Flona. Kualitas isi berita dan penyampaian informasi yang lengkap dengan menggunakan narasumber yang kompeten disertai penjelasan teknis mengenai segala jenis tanaman dan hewan yang disajikan majalah Trubus mengungguli majalah Flona, demikian juga kualitas teknis berupa kualitas kertas, layout, foto, gambar, dan ilustrasi berita. Oleh karena itu walaupun harga majalah Trubus harganya dua kali lipat dari harga majalah flona dan jumlah halaman majalah trubus satu setengah kali dari majalah flona, para hobbies atau penggemar dan pelaku bisnis tanaman dan hewan lebih memilih majalah Trubus sebagai bahan rujukannya

3.    The Frame of Public Responsibility (Kerangka Tanggung Jawab Publik)
Kerangka ini focus melihat bahwa organisasi media juga memiliki tanggung jawab social yang harus memenuhi beragam tingkat kesukarelaan termasuk melayani public dalam hal informasi, pemberitaan, dan budaya. Para pengelola media diharapkan menjalankan tugas-tugas public yang dianggap penting. Hal ini berarti bahwa pengelola media harus siap menerima masukan dengan tangan terbuka ataupun keluhan yang disampaikan masyarakat atau perorangan. Kerangka ini juga membawa bahasan mengenai perlunya pihak media menyediakan forum khusus untuk penyaluran opini public dalam setiap publikasinya.
Kelebihan dari kerangka ini adalah fakta bahwa kebutuhan masyarakat akan penyampaian opini public secara langsung dapat terpenuhi. Ditambah lagi adanya ide hubungan interaksi yang berkelanjutan yang terjadi antara media dan masyarakat. Sehingga tercipta model akuntabilitas yang terbuka dan demokratis yang tentu saja melindungi kebebasan berpendapat. Kelemahan dari kerangka ini adalah beberapa media ada yang menolak sehingga menggunakan kebebasan mereka secara tidak bertanggungjawab. System akuntabilitasnya tidak nyata dan tren menuju globalisasi serta konsentrasi media yang melemahkan kerangka ini.
Adanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan salah satu bentuk perwujudan kerangka Tanggung Jawab Publik. Pasal 6 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan dasar pembentukan KPI. Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan Contoh lainnya adalah adanya kolom surat pembaca dalam surat kabar baik cetak maupun elektronik, yang menampung keluhan, kritis, saran, maupun informasi dari audience.

4.    The Frame of Professional Responsibility (Kerangka Tanggung Jawab Profesional)
Kerangka ini melihat pelaku media (jurnalis, pengiklan, humas) dari sisi profesionalisme, sehingga kinerja mereka dinilai dari penghargaan diri dan pembangunan etika profesionalnya. Hal ini juga diterapkan pada asosiasi pemilik, editor, produser, dan seterusnya yang bertujuan melindungi kepentingan industry melalui standar yang mereka tetapkan sendiri, namun bisa juga ditetapkan oleh institusi public atau pemerintah.
Mekanisme dan prosedurnya terdiri dari kode etik professional media, serta prosedur untuk mendengar dan menilai keluhan terhadap tindakan media. Isunya dapat berupa beberapa kerugian yang terjadi pada individu atau kelompok. Perkembangan profesionalisme di media sering didukung oleh pemerintah serta dibantu pendidikan dan pelatihan. Keuntungannya, system akuntabilitas ini umumnya dapat berjalan karena kesukarelaan sekaligus kepentingan media dan profesional; memiliki manfaat yang non-koersif dan mendorong pengembangan serta pengendalian diri secara sukarela. Kekurangannya adalah sempitnya aplikasi dan tidak menimbulkan tekanan berarti pada media yang kuat, tidak cukup independen dari media itu sendiri dan juga fragmentaris dalam cakupannya (Fengler, 2003). Profesionalisme tidak berkembang dalam media dankaryawan yang memiliki sedikit otonomi dari manajemen dan pemilik (McQuail, 2010:212).
Ilustrasi mengenai kerangka ini di Indonesia dapat dilihat dalam surat keputusan Dewan Pers No:03/SK-DP/III/2006 tentang kode etik jurnalistik dimana pada pasal 2 tercantum “ wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”. Penafsiran tentang pasal 2 menyebut cara-cara yang professional tersebut adalah:
a.       Menunjukkan identitas kepada narasumber;
b.      Menghormati hak privasi;
c.       Tidak menyuap;
d.      Menghasilkan berita yang factual dan jelas sumbernya;
e.       Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara, dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditambilkan secara berimbang;
f.       Menghormati pengalaman traumatic narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara;
g.      Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil peliputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h.      Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan public.

Kerangka akuntabilitas media yang perlu mendapat prioritas utama di Indonesia adalah “The Frame of Professional Responsibility” atau Kerangka Tanggung Jawab Profesional. Dengan adanya profesionalisme dari para pelaku media, maka kualitas isi dan teknis publikasi dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga informasi yang disajikan kepada masyarakatpun dapat berimbang. Kinerja dari para pelaku media pun juga akan berdasarkan standar kinerja, standar perilaku, maupun standar etika baik yang ditetapkan secara mandiri, atau berdasarkan aturan institusi social, maupun pemerintah. Dengan kata lain, bekerja dengan profesionalisme sudah dapat dikatakan merangkul ketiga kerangka yang lainnya.

MEDIA BARU
Munculnya media baru seperti internet telah disambut(khususnya oleh media lama)  dengan ketertarikan yang kuat, positif, dan bahkan pengharapan serta perkiraan yang bersifat eforia, serta perkiraan yang berlebihan mengenai signifikansi mereka (Rossler, 2001). Saat ini euphoria ini masih hangat dalam kesehariaan kita, namun sebenarnya disisi lain terdapat ketakutan sekaligus optimisme mengenai konsekuensi hadirnya media baru ini. Berikut disajikan kelebihan dan kelemahan media baru khususnya penggunaan Internet dalam meningkatkan partisipasi politik dan kehidupan demokrasi secara umum:
Secara garis besar, bentivegna (2002) mengemukakan keuntungan dari penggunaan media baru (Internet) adalah sebagai berikut:
1.        Dengan munculnya internet, maka jarak dan waktu bisa dihilangkan. Namun muncul ruang baru untuk berinteraksi bagi seluruh pengguna internet dengan berkomunikasi secara  online, yang tidak mengenal jarak, dan waktu lagi.  Sebagai ilustrasi dalam kaitannya dengan politik dan demokrasi adalah pada pemilu 2014, banyak calon presiden yang menggunakan twitter, yotube, facebook untuk berkampanye. Mereka menyapa pendukungnya melalui akun jejaring social tersebut. Bahkan tidak ada calon presiden yang tidak mempunyai laman web sendiri, seperti prabowo dengan www.prabowosubianto.web.id atau Jokowi dengan www.Jokowi.co.id. tidak kalah dengan calon presidennya, para pendukungnya pun berlomba-lomba membuat situs jejaring social untuk merangkul masyarakat yang masih labil dalam pemilihan presiden. Sebagai contoh: www.mediaprabowo.com, www.sahabatprabowo.wordpress.com untuk pendukung prabowo. Atau pendukung jokowi dengan  www.jokowicenter.com. hal tersebut tidak lain untuk bisa berkomunikasi secara langsung tanpa batasan jarak dan waktu antara pemilh dan yang dipilih.
2.        Menjadi sarana penyebaran informasi politik, social, ekonomi, budaya, hankam kepada seluruh warga Negara dengan efektif dan efisien.  Karena dalam internet tidak dikenal jarak, ruang, dan waktu maka dalam penyebaran informasi bisa menjadi lebih efektif dan efisien dan dampaknya bisa menjadi lebih ekonomis. Sebagai ilustrasi kita ambil contoh komunitas virtual yang banyak dibentuk oleh para pendukung calon presiden pada pemilu tahun 2014. Komunitas virtual ini biasanya merupakan para pendukung dari calon presiden. Mereka bertugas menyebarkan informasi kegiatan dan aktivitas politik calon politik yang didukungnya. Atau mereka mengadakan kegiatan amal dalam rangka kampanye dan menyabarkan informasinya melalui blog-blog atau jejaring social yang mereka buat. Dengan demikian informasi yang mereka sampaikan bisa diterima masayarakat dengan sangat cepat dan bisa menghemat biaya publikasi.
3.        Mendukung komunikasi vertical dan horizontal secara langsung tanpa hambatan antar pengguna internet atau dengan para pemegang keputusan. Hal ini menyebabkan terjadinya kesetaraan dalam status social di internet sehingga komunikasi bisa lebih berjalan dengan lancar. Sebagai ilustrasi adalah ketika para calon presiden dalam pemilu 2014 menyapa para pendukungnya di dunia maya, hal ini menjadikan para pendukungnya memiliki kedekatan tersendiri dengan calon presiden pilihannya tersebut. Rasa kedekatan ini timbul karena internet tidak mengenal kasta, sehingga para pendukungnya merasa bahwa ada kesetaraan didunia maya. Rasa ini mungkin sama halnya ketika mereka bertemu dan berpelukan secara langsung dengan calon presidennya tersebut, sehingga para pemilih menjadi bersemangat untuk selalu berpartisipasi dalam kegiatan kampanye calon presidennya. 
4.        Dengan hilangnya perantara dalam komunikasi dengan media baru ini (internet), maka berkurang juga peran jurnalisme untuk melakukan mediasi pada hubungan antara warga negara dan politikus. Sebagai ilustrasi ketika kita menggunakan media lama, kampanye politik hanya bisa terjadi melalui peran jurnalisme. Media komunikasi politik hanya berasal dari surat kabar, radio,ataupun TV yang semuanya pasti menggunakan mediasi orang ketiga yaitu jurnalis/wartawan. Namun dengan adanya internet, komunikasi politik secara langsung antara politikus dengan masyarakat bisa terjadi dengan mudah. Selain memangkas birokrasi kampanye sehingga terjadi penghematan, kampanye secara langsung dengan media internet diyakini lebih efektif, karena sudah terbukti dalam kampanye Obama ketika menjadi calon presiden US pada tahun 2008. Dia menggunakan jejaring social untuk berkampanye dan hasilnya terbukti dia terpilih menjadi Presiden US pada tahun 2008.
5.        Memungkinkan dilakukannya survey dan penjaringan opini public melalui internet untuk mengukur popularitas calon presiden ataupun wakil presiden. Sebagai ilustrasi adalah adanya polling popularitas calon presiden dan wakil presiden 2014 yang dilakukan oleh banyak lembaga survey. Dengan satu klik, suara para pengguna internet dihitung dan dalam waktu dan dengan teknik tertentu bisa diukur tingkat popularitasnya. Namun memang belum tentu hasil polling yang dilakukan benar-benar mewakili rakyat Indonesia, karena tetap Internet belum mampu menjaring seluruh rakyat Indonesia.
Walaupun terdapat kelebihan dari penggunaan media baru ini, namun dijelaskan juga mengenai kekurangan dan keterbatasan dari penggunaan media baru ini, yaitu:
1.      Masih adanya jarak antara realitas politik dengan masyarakat sehingga partisipasi politik masyarakat masih tetap/stabil (bentivegna, 2002).  Hal ini karena adanya informasi yang berlebihan dalam arti yang negative, yaitu informasi yang membuat bingung masyarakat sehingga enggan untuk ikut aktif dalam berdemokrasi atau berpartisipasi politik. Sebagai ilustrasi adalah dalam pemilu legislative 2014 tidak semua pemilih memiliki keyakinan atas calon wakil rakyatnya, terutama para pemilih pemula yang berusia 17 tahun atau para pemilih yang memang sudah sangat apatis terhadap anggota DPR. Kemudian gagasan mereka mereka salurkan melalui media Internet dengan mengusung Jargon “GOLPUT” dengan memberikan banyak argument yang tentu saja negative atas pemilihan legislative. Karena banyak para pemilih pemula yang masih belum mampu membedakan mana informasi yang benar, dan mana yang salah terutama dalam hal kaitannya dengan politik, maka tingkat partisipasi mereka bisa dibilang cukup rendah. Tingkat partisipasi pada pemilu 1999 sebesar 92,6 persen. Pada pemilu 2004, tingkat partisipasi itu turun menjadi 84,1 persen, kemudian kembali anjlok pada Pemilu 2009 menjadi 70,9 persen
2.      Hambatan klasik, yaitu kesulitan masyarakat dalam mengakses internet. Bisa karena Sumber Daya Manusianya, atau bisa karena memang teknologi internet belum sampai ke tangan masyarakat. Jadi ada fakta yang memperlihatkan bahwa media baru cenderung hanya digunakan oleh minoritas kecil yang sudah memiliki ketertarikan dan kecenderungan politik (Davis, 1999; Noris, 2000). Sebagai ilustrasi adalah bahwa tidak semua wilayah di Indonesia terjangkau Internet. Sebagian besar masyarakat yang wilayah desanya masih belum mengenal internet tentu informasi profil calon presiden pada pemilu 2014 tidak sampai kepada mereka. Sehingga diperkirakan pasti akan berpengaruh pada tingkat pertisipasi mereka.
3.      Pengguna Internet dapat dengan mudah menyamarkan identitasnya. Sehingga bagi pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan kelemahan internet ini, mereka dapat dengan mudah menggunakannya untuk tujuan mendapatkan keuntungan politik. Sebagai ilustrasi bahwa KPU telah menetapkan jadwal kampanye pasangan calon presiden pada pemilu 2014. Namun terkadang banyak pihak yang mencuri start kampanye melalui media Internet sebelum masuk waktunya kampanye. Hal ini sulit untuk dihentikan karena kebanyakan pelaku menyamarkan identitasnya, walaupun mereka mengkapanyekan salah satu pasangan calon. namun sanksi tetap tidak dapat dikenakan karena pasangan calon sendiri sebenarnya tidak melaksanakan kampanye itu sendiri.
Dengan semakin berkembangnya internet sekarang ini, tentu seluruh instansi politik akan mengarsipkan datanya kedalam bentuk digital dengan menggunakan server. Hal ini memicu kerawanan dari sisi keamanannya. Banyak bermunculan hackers yang netral atau yang condong ke salah satu pemikiran politik tertentu yang ingin mempermalukan lawan politiknya. Sebagai ilustrasi adanya peretasan dalam situs revolusi mental yaitu www.revolusimental.go.id yang dibangun pemerintahan Jokowi melalui Kemenko PMK. Hal ini menunjukkan semakin berkembangnya internet, maka pengguna internet juga semakin pintar. Terutama para haters yang menjadi hackers akan selalu berusaha mencari cara untuk melemahkan atau mempermalukan lawan politiknya.




Daftar Referensi:
Bentivegna, S. “Politics and the new media”. Dalam L.A. Lievrouw and S, Livingstone (ed), The Handbook of new media. London: SAGE, 2002.
McQuail, Denis. “McQuail’s Mass Communication Theory 6th Edition”. London:SAGE, 2010.
 


https://www.academia.edu/4802382/Dinamika_Pers_Indonesia_di_Era_Reformasi
https://sharkiedick.wordpress.com/2010/03/10/studi-media-perspektif-pluralis-dan-perspektif-marxis/
http://zayd.heck.in/pers-pada-masa-orde-baru-dan-era-reforma.xhtml
http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/07/09/18490431/quick.count.ini.hasil.lengkap.11.lembaga.survei
 http://www.stikstarakanita.ac.id/files/
http://www.kpi.go.id
http://www.dewanpers.or.id/page/kebijakan/peraturan/?id=513 
http://koran.tempo.co/konten/2013/11/19/327796/Pemilih-Pemula










Komentar

Posting Komentar