Kekerasan
dalam Media Massa
Kekerasan
merupakan suatu fenomena tersendiri yang hadir dalam masyarakat. Banyak
peristiwa kekerasan yang bisa kita lihat sehari-hari dari pemberitaan televisi,
seperti adanya Demonstrasi yang disertai dengan adanya kerusuhan. Sebut saja
adanya kasus unjuk rasa buruh yang menuntut naiknya upah/UMP/UMK yang disertai
dengan kerusuhan. Tercatat dalam demo buruh yang rusuh terakhir di Istana Negara
pada tanggal 30 Oktober 2015, polisi bahkan menetapkan 25 tersangka buruh
pembuat rusuh tersebut.(1) Atau demonstrasi yang dilakukan mahasiswa yang tidak
jarang berujung dengan kerusuhan, seperti yang paling baru demonstrasi Aliansi
Mahasiswa Papua (AMP) di istana negara pada 1 Desember 2015 yang berujung
kericuhan dengan aparat kepolisian.(2) Atau contoh lainnya adanya tawuran
mahasiswa yang sudah tak terhitung lagi jumlah kejadiannya disepanjang tahun
ini. Fenomena ini kemudian diliput dan diberitakan oleh media massa. Sehingga
kekerasan yang terjadi di satu tempat dapat dengan mudah diketahui oleh
orang-orang di tempat lainnya.
Sesuatu
yang mampu mengaduk emosi sering kali mendapat perhatian besar dari masyarakat.
Demonstrasi ricuh ataupun tawuran mahasiswa menampilkan gambar pemukulan,
kejar-kejaran, dan air mata serta menjadi unsur yang kemudian disukai media
massa untuk diangkat dalam pemberitaan. Dengan pemberitaan tersebut, media
massa mampu membetot perhatian publik, sehingga popularitas media akan
meningkat, dan selanjutnya akan berpengaruh juga terhadap pemasukan. Sebab
media massa bukan sekadar penyampai informasi namun juga ladang bisnis.
Visualisasi
kekerasan, khususnya di media televisi, bukannya tanpa masalah. Media massa
mendapatkan kritik bertubi-tubi atas pemberitaan dan penayangan gambar-gambar
kekerasan. Bahkan sebenarnya Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) sudah melayangkan suratnya nomor 629/K/KPI/11/12 tertanggal 8
November 2012 yang Isinya mengimbau kepada seluruh stasiun siaran televisi
untuk mengekang diri dalam menyiarkan berita kekerasan.(3) Disini sebenarnya etika
pekerja media lantas dipertanyakan. Apakah bisnis berada di atas segala-galanya
sehingga pekerja media memilih menampilkan bahasa dan gambar kekerasan dengan
vulgar? Apakah imbauan dari KPI hanya sebatas aturan tanpa tindakan sehingga
media bebas mempertontonkan adegan kekerasan yang dibalut dengan berita dan
informasi tersebut?.
Pemberitaan
kekerasan dalam perkembangannya menjadi paradoks. Di satu sisi meningkatkan
kewaspadaan masyarakat karena mereka menjadi tahu berbagai bentuk ancaman
kekerasan yang ada di sekelilingnya. Dari sisi ini, media massa telah memainkan
fungsinya sebagai penyampai informasi dan pengetahuan kepada publik. Namun di sisi lain, pemberitaan
kekerasan yang ‘polos’ dapat menakut-nakuti masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi,
pemberitaan kekerasan dapat memberikan inspirasi bagi beberapa orang untuk
melakukan tindakan serupa.
Logika Teori yang
Berlaku (Teori Kultivasi dan Teori Pembelajaran Sosial)
Ibarat orang jawa yang merantau ke sumatera dengan makanan
yang serba pedas. Lama kelamaan lidah manis orang jawa akan menyesuaikan diri
dengan gempuran masakan sumatera dengan citarasa pedas. Begitu juga dengan televisi
yang menyajikan banyak adegan kekerasan setiap harinya, lama kelamaan adegan
seperti itu akan dianggap biasa oleh khalayak dan menganggap itu sebagai bagian
dari realitas kehidupannya. Hal seperti ini dalam ilmu komunikasi dikenal
dengan istilah teori kultivasi. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Profesor George Gerbner (1976) ketika ia menjadi dekan di
Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS).
Teori ini mendeksripsikan bahwa media
menghasilkan sebuah dampak dimana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia
nyata (kehidupannya sehari-hari) berjalan sesuai dengan dunia yang digambarkan
oleh media. Ataupun sebaliknya, menganggap bahwa dunia dalam media itu adalah
"realita".(4)
Ketika televisi sering menayangkan mahasiswa atau buruh yang
berunjuk rasa dengan ransel berisi batu, tiang bendera bambu runcing dan wajah
ditoreh pasta gigi untuk meredam gas air mata, dengan cepat “gaya’ itu ditiru
oleh setiap demonstran yang mau turun jalan. Tiang bendera dan ransel kemudian
berbicara kekerasan apabila terjadi bentrok dengan polisi. Kekerasan terjadi
karena mereka menyerbu lawannya dengan lemparan batu dan bambu runcing. Bahkan,
hampir bisa dipastikan belakangan ini setiap aksi demo mahasiswa atau kelompok buruh
berujung bentrok dengan polisi. Seolah mereka pun ingin agar aksi kekerasan itu
bisa diberitakan di televisi.
Dalam teori ini juga dijelaskan mengenai adanya efek
resonansi. Yaitu istilah untuk efek yang diterima khalayak akan menjadi lebih
besar apabila konten yang ditayangkan televisi dinikmati oleh khalayak yang
juga merasakan realitas yang sama dengan yang disajikan di televisi. Dalam
kasus diatas apabila yang menonton televisi adalah para buruh atau mahasiswa
yang memang mengetahui apa yang sedang dituntutkan, tentu mereka akan merasa
menjadi bagian dari pemberitaan televisi tersebut. Dengan demikian akan
terbangun rasa kebersamaan untuk melakukan hal sama dengan apa yang disajikan
dalam televisi, yaitu tindakan demonstrasi dengan anarkis atau tawuran antar
mahasiswa.
Teori lain yang memperlihatkan efek buruk bagi tayangan
kekerasan dalam pemberitaan televisi diajukan oleh Albert Bandura (1986) yang
memperkenalkan teori pembelajaran social (Social
Cognitive Theory) yang
memiliki ide dasar pembelajaran tidak hanya dari pengamatan dan pengalaman,
tetapi juga sumber tidak langsung seperti media massa dalam hal ini Televisi.
Perhatian kita tertuju pada konten media yang memiliki relevansi potensial
terhadap hidup kita dan kebutuhan serta kepentingan pribadi. Teori ini menjelaskan pemikiran dan tindakan manusia sebagai
proses saling mempengaruhi satu sama lain dengan berbagai variasi
kekuatannya.(5) Dalam teori ini dikemukakan dua efek yang saling berkebalikan,
pertama efek larangan (Inhibitory effect)
yaitu efek dari sesuatu yang diamati di televisi melarang khalayak untuk
melakukan hal tersebut. Namun efek yang kedua adalah kebalikannya, yaitu efek
suruhan (Disinhibitory Effect). Efek
ini disebabkan karena apa yang disajikan televisi seolah-olah menyuruh khalayak
untuk melakukan hal yang sama. Efek ini dapat berlaku juga dalam pemberitaan
demonstrasi atau tawuran mahasiswa yang mengandung unsur kekerasan. Dengan
adanya pemberitaan tersebut, khalayak secara tidak sadar akan mendapat
pendidikan kekerasan. Apalagi pemberitaan tersebut disajikan oleh banyak
channel televisi dan ditayangkan ditengah hari dimana anak-anak dapat dengan
mudah menontonnya. Walaupun menurut penelitian bandura, efek tersebut tidak
langsung terjadi, namun apabila disajikan secara terus menerus akan menyebabkan
tindakan kekerasan tersebut akan ditiru, terutama untuk anak-anak yang belum
bisa membedakan mana yang boleh dan mana yang dilarang.
Perlindungan Khalayak/Audience
Dari ulasan
teori diatas, dapat disimpulkan bahwa secara ilmiah memang adanya tayangan
kekerasan dalam pemberitaan di televisi yang disiarkan secara bebas akan
memberikan efek negative bagi audience, terutama anak-anak. Oleh karena itu
penulis sependapat bahwa pemberitaan demonstrasi atau tawuran yang berujung
pada visualisasi kekerasan harus dibatasi. Karena secara tidak langsung akan
berpengaruh pada perilaku negative khalayak sendiri. Dengan melihat adegan
pemukulan oleh polisi, atau pelemparan batu oleh mahasiswa, atau kejar-kejaran
pelaku demonstrasi dengan disertasi teriakan hinaan yang disiarkan secara bebas
oleh televisi dikhawatirkan akan ditiru oleh khalayak. Bisa jadi khalayak yang menonton adegan
tersebut akan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhana adalah
adanya tawuran anak Sekolah Dasar (SD) yang pernah terjadi di Jakarta, atau
tepatnya di pintu air kemayoran Jakarta. 15 pelajar sekolah dasar (SD)
tertangkap saat tawuran dan kelima siswa diantaranya merupakan siswa kelas 6 di
SDN 12 Serdang. Para siswa ini terlibat tawuran dengan pelajar SDN 07 Serdang,
yang sebenarnya berada satu komplek. Penyebabnya, lantaran siswa SDN 12
dilempari batu saat pulang sekolah menuju rumah mereka. Kedua sekolah dasar ini
tawuran dengan saling melempar batu dan memukul dengan kayu. Tapi tawuran tak
berlangsung lama, karena guru dan warga lekas mengejar mereka dan menangkapnya,
kemudian dibawa ke Koramil. Kelima belas pelajar itu, menangis begitu aparat
Koramil berseragam loreng membentak-bentak
mereka. (6)
Dari contoh
sederhana diatas memang terlihat bahwa anak-anak SD tersebut sebenarnya tidak
punya nyali ketika melakukan tawuran. Terbukti mereka menangis ketika dibawa ke
koramil. Bisa jadi sesuai teori pembelajaran kognitif diatas, mereka hanya
meniru adegan tawuran yang biasanya disajikan di media, terutama televisi.
Apalagi pemberitaan yang bertubi-tubi dengan menampilkan adegan perkelahian
fisik dan ditayangkan ditengah hari yang dengan leluasa anak-anak SD bisa
menontonnya, membuat hal tersebut dianggap biasa untuk dilakukan bahkan oleh
anak SD sekalipun.
Sedikit
uraian diatas menggambarkan betapa pentingnya dilakukan perlindungan terhadap
khalayak dari dampak buruk pemberitaan media. Surat edaran KPI diatas sebagai
contoh tidak diindahkannya norma dan etika dalam penyiaran pemberitaan oleh
stasiun TV. Para pelaku bisnis televisi hanya mementingkan rating program
berita yang ditayangkannya. Menurut mereka, semakin update berita disiarkan,
semakin tinggi juga rating yang didapat. Sehingga penyebaran berita paling
update menjadi tolok ukur mereka. Namun mereka lupa bahwa bisa jadi secara
tidak langsung mereka jugalah yang menyebabkan banyak kerusuhan ini terjadi.
Namun jangan salahkan juga para pebisnis televisi tersebut.
Namanya bisnis tentu orientasi mereka adalah untung. Akhirnya semua kebijakan
kembali kepada kita. Jika memang sang pembuat kebijakan yang seharusnya bisa
menjaga kita dari efek buruk media tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya,
maka kita sebagai khalayak lah yang harus bijak dalam memilih konten media agar
efek buruk pemberitaan kekerasan bisa sedikit diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Nabi, Robin L. & Oliver, Mary B.
(2009).”The Sage Handbook of Media Processes and Effect”. Los Angeles: SAGE
Publications
McQuail, D. (2010). “McQuail’s Mass
Communication Theory”,
Edition. London: SAGE Publications Ltd

Website:
(2)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151201115341-20-95165/demo-mahasiswa-papua-di-jakarta-rusuh/
(6)
http://www.kompasiana.com/saefulm/dalang-dibalik-kasus-tawuran-antar-siswa-sekolah-dasar_552c96d26ea8340d7c8b4569
♥♦♣♠ PELANGI KOIN ♠♣♦♥
BalasHapusTERSEDIA 8 PERMAINAN DALAM 1 USER ID :
BANDARQ
ADUQ
BANDARPOKER
POKER
DOMINO99
CAPSASUSUN
SAKONG
BANDAR66
BANK TERSEDIA : BCA,MANDIRI, BRI, BNI, DANAMON
NB : PENGGUNA BANK DAERAH ? ATAU PENGGUNA JASA TRANSFER ?
KAMI TERIMA SEMUA JENIS NYA DAN PROSES SECEPATNYA DEPO & WD ANDA BOSS
-DENGAN MINIMAL DEPOSIT SANGAT TERJANGKAU, 20 RIBU
-MENYEDIAKAN BONUS KOIN TERBESAR & JACKPOT BERLIMPAH SETIAP HARINYA
-TRANSAKSI SEMUA BANK 24 JAM,TANPA SYARAT
-TIPS & TRIK JITU MENANGKAN JUTAAN KOINNYA SETIAP HARI DARI CS PROFESIONAL
JANGAN RAGU LAGI, SEGERA DAFTAR, DAN MENANGKAN JUTAAN-RATUSAN JUTA KOIN NYA SETIAP HARI
BOSS MENANG, KAMI SENANG
WD TANPA BATAS
WA: +855963935880
BBM : E3F4F0DF
LINE : PELANGIKOIN
FB : PELANGI KOIN
IG : PELANGI_KOIN