Groupthink menurut Irvings Janis (1972) adalah istilah untuk keadaan ketika sebuah kelompok membuat keputusan yang tidak masuk akal untuk menolak anggapan/ opini publik yang sudah nyata buktinya, dan memiliki nilai moral. Keputusan kelompok ini datang dari beberapa individu berpengaruh dalam kelompok yang irrasional tapi berhasil mempengaruhi kelompok menjadi keputusan kelompok. Groupthink mempengaruhi kelompok dengan melakukan aksi-aksi yang tidak masuk akal dan tidak mempedulikan pendapat-pendapat yang bertentangan diluar kelompok. Kelompok yang terkena sindrom groupthink biasanya adalah kelompok yang anggota-anggotanya memiliki background yang sama, terasing (tidak menyatu, terisolir) dari pendapat-pendapat luar, dan tidak ada aturan yang jelas tentang proses pengambilan keputusan. (1)
Sementara Mulyana (1999) menyebut fenomena groupthink ini sebagai suatu situasi dalam proses pengambilan keputusan yang menunjukkan timbulnya kemerosotan efesiensi mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok.
Sementara Mulyana (1999) menyebut fenomena groupthink ini sebagai suatu situasi dalam proses pengambilan keputusan yang menunjukkan timbulnya kemerosotan efesiensi mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok.
Groupthink Sebagai Teori Komunikasi
Kelompok
Fenomena
Groupthink ini dapat dikategorikan sebagai salah satu teori fungsional dari
bentuk komunikasi kelompok. Hal ini karena teori-teori fungsional komunikasi
kelompok memandang suatu proses sebagai instrumen ketika dimana suatu kelompok
sedang mengambil keputusan, akan menekankan hubungan antara kualitas komunikasi
dengan kualitas output dari suatu kelompok tersebut. Komunikasi dalam kelompok
tentu akan berhubungan dengan beberapa hal, seperti saling membagi
informasi-informasi, merupakan cara bagi anggota kelompok tersebut dalam
melakukan eksplorasi dan mengidentitaskan bentuk kesalahan ketika sedang
berpikir, dan sebagai alat untuk melakukan persuasi. Demikian juga dengan
groupthink yang menekankan kohesivitas (keterpaduan) antar anggota kelompok
sehingga dapat memutuskan suatu hal dalam komunikasi kelompok tersebut, yang
dianggap berguna bagi kepentingan kelompok. Dengan demikian karena adanya
kesamaan definisi sehingga groupthink dapat dimasukkan kedalam salah satu teori
fungsional dalam komunikasi kelompok.
Cohesiveness
Salah
satu penyebab adanya groupthink menurut Janis adalah adanya cohesiveness antar anggota kelompok
(Littlejohn, 2002). Maksudnya adalah bahwa groupthink merupakan hasil langsung
dari adanya keterpaduan dalam kelompok tersebut. Keterpaduan dalam artian adanya
konvergenitas pikiran, rasa, visi, dan nilai-nilai di dalam sebuah kelompok
menjadi sebuah entitas kepentingan kelompok, dan orang-orang yg berada dalam
kelompok itu dilihat tidak sebagai individu, tetapi sebagai representasi dari
kelompoknya. Apa yang dipikirkan, dirasa, dan dilakukan adalah kesepakatan satu
kelompok. Tidak sedikit keputusan-keputusan yang dibuat secara groupthink itu
yang berlawanan dengan hati nurani anggotanya, maupun orang lain di luarnya.
Namun mengingat itu kepentingan kelompok, maka mau tidak mau semua anggota
kelompok harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu kesepakatan
bersama. Lain halnya apabila keterpaduan tersebut tidak terjadi dalam kelompok,
tentu akan banyak terjadi konflik dan perdebatan yang tidak kunjung usai. Hal
tersebut jelas akan mengganggu pengambilan keputusan. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa faktor cohesiveness memang
dapat menjadi persoalan tersendiri dalam pengambilan keputusan dan tindakan
dalam kelompok, namun bagaimanapun juga keterpaduan dalam kelompoklah yang
harus dijaga dan keputusan yang telah diambil kelompok harus dijalani bersama.
Kaitan Groupthink dengan General
Functional Theory
Cikal
bakal adanya tradisi fungsional komunikasi kelompok ini dibentuk oleh Randy
Hirokawa dan rekan-rekannya, dimana penelitian-penelitian mereka berhubungan
dengan aneka bentuk kesalahan-kesalahan yang biasanya dilakukan oleh sebuah
kelompok dan juga berusaha untuk mengidentitaskan hal-hal yang bermacam-macam
bentuknya yang diperlukan untuk dipertimbangkan oleh sebuah kelompok agar dapat
menjadi lebih efektif. Sebuah kelompok umumnya akan mulai dengan melakukan
identifikasi dan mencoba untuk memahami permasalahan-permasalahan yang ada, dan
akan muncul pertanyan-pertanyaan seperti apa yang terjadi?, mengapa?, siapa
saja yang terlibat?, kesulitan seperti apa yang dihasilkan?, dan lain-lain.
Dari sini, langkah berikutnya adalah mengumpulkan dan melakukan evaluasi informasi-informasi
yang ada tentang masalah tersebut. Semakin banyak diskusi-diskusi tentang
solusi-solusi yang memungkinkan, maka informasi-informasinya akan terus
bermunculan. Langkah berikutnya adalah kelompok akan menggeneralisasi
proposal-proposal alternatif yang bermacam-macam bentuknya untuk mengatasi
masalah dan mendiskusikan tujuan yang ingin dicapai melalui pemecahan masalah
tersebut. Dan akhirnya akan diambillah sebuah keputusan dalam kelompok
tersebut.
Hal
ini sebagaimana yang dilakukan juga dalam groupthink. Pengambilan keputusan
dalam groupthink juga berdasarkan langkah-langkah menurut Hirokawa. Hanya saja
adanya Concurrent Seeking Behavior
sering menjadi dasar terjadi groupthink. Concurrent
Seeking Behavior adalah perilaku kecenderungan saling ketergantungan dan
kesepakatan bersama untuk bersatu dalam memecahkan masalah dalam kelompok.
Perilaku ini muncul dipengaruhi variabel kelompok kohesif, struktur kelompok
yang jelek dan konteks provokatif. Ketiga variabel inilah yang mempengaruhi kelompok
untuk cenderung menggunakan groupthink dalam pemecahan masalah. (2)
Relevansi dan Rekomendasi dalam konteks Indonesia
Menelaah fenomena groupthink yang kebanyakan kasus yang diambil Janis berasal dari Amerika Serikat yang menganut demokrasi, Mulyana (1999) mempertanyakan mungkinkan groupthink atau fenomena sejenis itu juga terjadi di negara timur seperti Indonesia yang mewarisi budaya feodal dan paternalistik yang masyarakatnya ditandai dengan hubungan patron dan klien? Setiap teori atau konsep memang terikat budaya dan karena itu belum tentu berlaku dalam budaya lain. Groupthink boleh jadi muncul juga dalam komunikasi kelompok di kalangan elite politik kita, hanya saja ciri-cirinya mungkin agak lain. Misalnya, apakah keputusan yang diambil mantan Presiden Soeharto berlandaskan groupthink yang dihasilkan Soeharto dan para pembantunya, setidaknya groupthink yang khas Indonesia yang lebih diwarnai oleh pendapat Soeharto? Atau apakah keputusan-keputusan Soeharto itu berdasarkan obrolan keluarga besar Cendana di meja makan? Semua itu rasanya masih samar kalaupun bukan misteri dan memerlukan kajian lebih dalam. Masih bisa kita ingat, cukup banyak keputusan Soeharto dan para pembantunya ini yang menghasilkan tindakan-tindakan yang dianggap sebagai kekeliruan fatal yang kesemuanya berakumulasi, merugikan rakyat banyak, menciptakan ketidakpuasan mereka dan akhirnya menimbulkan krisis politik dan ekonomi kita belakangan ini. Sebagian diantara keputusan-keputusan yang fatal itu adalah: pembentukan Daerah Operasi Militer (DOM) atas Aceh, pembantaian kaum muslim di Tanjung Priok, pembentukan BPPC, proyek lahan gambut sejuta hektar, kebijakan mobnas, dll.
Menarik untuk mengetahui, misalnya beberapa hal berikut.
a. Seberapa jauh keterlibatan menteri terkait pengambilan keputusan Soeharto?
b. Apakah keputusan Soeharto tersebut merupakan inisiatif sendiri yang kemudian diamini para pembantunya?
c. Sejauh mana kohesivitas kelompok yang menghasilkan keputusan tersebut, bila keputusan dibuat kelompok?
d. Adakah diantara para menteri atau dirjen yang menjadi mindguards?
e. Sejauh manakah kerugian yang ditimbulkan akibat keputusan tersebut?
f. Sejauh mana budaya (jawa) Soeharto berperan dalam mempengaruhi keputusan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas Mulyana merekomendasikan agar dilakukan studi yang lebih seksama lewat wawancara mendalam dengan orang-orang yang pernah terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan tersebut dan dokumen-dokumen yang relevan. Inilah yang menjadi tantangan para ilmuwan sosial, yang bersifat humanistik dan multidisipliner sehingga dapat menambah wawasan kita atas proses politik dalam era orde baru.
Kontribusi dan Kritik
Mempelajari groupthink akan membuka wawasan kita mengenai proses pengambilan keputusan-keputusan penting terjadi. Kita bisa mempelajari dan mengetahui sejauh mana kohevisitas kelompok mempengaruhi keputusan kelompok tersebut. Bagaimana kelompok-kelompok kohesif membuat keputusan-keputusan yang keliru dan lain-lain. Dengan demikian, kita bisa mempelajari bagaimana sebuah keputusan akhirnya diputuskan. Banyak keputusan penting di Indonesia yang sebenarnya terpengaruh oleh groupthink. Hal ini tidak lepas dari budaya kita yang cenderung paternalistik dimana kelompok menempatkan sang patron sebagai orang yang “lebih” dari anggota lainnya. Konsekuensinya, apapun yang dikatakan sang patron adalah benar. Berbeda pendapat dengan sang patron bisa diartikan merongrong atau berkhianat. (3)
Dalam beberapa hal, hipotesis Janis mengenai groupthink ini memang meyakinkan, namun ia tidak terlepas dari kritik. Kritik E.M Griffin (1997) terhadap groupthink Janis adalah tidak adanya penelitian komprehensif mengenai kasus-kasus yang dianggap memenuhi kualifikasi groupthink, seperti Challenger-nya USA, sehingga faktor kohesifitas kelompok yang mendominasi terjadinya groupthink sulit diukur kadarnya. Intinya, Griffin mempertanyakan bagaimana, kenapa dan sejauh mana kohesifitas kelompok bisa membuat keputusan yang difinalisasi adalah salah/keliru.
Selain itu beberapa kritik lain juga diarahkan kepada Janis. Para kritikus tersebut menyebut Janis hanya mengambil bukti-bukti yang mendukung teorinya saja. Kepaduan kelompok itu sendiri belum tentu menimbulkan pikiran kelompok (groupthink), misalnya perkawinan dan keluarga, dapat tetap terpadu atau kohesif tanpa menimbulkan pikiran kelompok; dengan tetap membiarkan perbedaan pendapat tanpa mengurangi keterpaduan itu sendiri (Aldag & Fuller, dalam Sarwono, 1999). Tetlock et.al (dalam Sarwono, Ibid), juga menyatakan bahwa dalam banyak kasus ada juga kelompok-kelompok yang sudah mengikuti prosedur yang baik, namun tetap melakukan kesalahan, misalnya Presiden Carter dan penasehat-penasehatnya yang merencanakan pembebasan sandera di Iran pada tahun 1980. Namun operasi tersebut gagal total dan Amerika Serikat dipermalukan. Padahal kelompok tersebut telah mengundang berbagai pendapat dari luar dan memperhitungkan kemungkinan secara realistik. (4)
CONTOH KASUS GROUPTHINK :
Kasus Mobil Nasional “TIMOR”
Keinginan Soeharto mewujudkan produksi dan pemasaran Mobil Nasional (Mobnas), untuk swadaya kendaraan dalam negeri membuahkan Instruksi Presiden (Inpres) No.2/1996. Isinya memerintahkan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi, untuk “melicinkan” proses kelahiran mobnas yang memiliki unsur, mengenakan merek sendiri, serta diproduksi dan menggunakan komponen dalam negeri.
Seluruh proyek ini dilimpahkan kepada putera Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) yang akhirnya mendirikan PT Timur Putra Nasional (TPN) sebagai produsen pembuat mobnas secara massal. Sontak, mobnas jadi “anak emas” di industri otomotif nasional.
Menarik untuk mengetahui, misalnya beberapa hal berikut.
a. Seberapa jauh keterlibatan menteri terkait pengambilan keputusan Soeharto?
b. Apakah keputusan Soeharto tersebut merupakan inisiatif sendiri yang kemudian diamini para pembantunya?
c. Sejauh mana kohesivitas kelompok yang menghasilkan keputusan tersebut, bila keputusan dibuat kelompok?
d. Adakah diantara para menteri atau dirjen yang menjadi mindguards?
e. Sejauh manakah kerugian yang ditimbulkan akibat keputusan tersebut?
f. Sejauh mana budaya (jawa) Soeharto berperan dalam mempengaruhi keputusan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas Mulyana merekomendasikan agar dilakukan studi yang lebih seksama lewat wawancara mendalam dengan orang-orang yang pernah terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan tersebut dan dokumen-dokumen yang relevan. Inilah yang menjadi tantangan para ilmuwan sosial, yang bersifat humanistik dan multidisipliner sehingga dapat menambah wawasan kita atas proses politik dalam era orde baru.
Kontribusi dan Kritik
Mempelajari groupthink akan membuka wawasan kita mengenai proses pengambilan keputusan-keputusan penting terjadi. Kita bisa mempelajari dan mengetahui sejauh mana kohevisitas kelompok mempengaruhi keputusan kelompok tersebut. Bagaimana kelompok-kelompok kohesif membuat keputusan-keputusan yang keliru dan lain-lain. Dengan demikian, kita bisa mempelajari bagaimana sebuah keputusan akhirnya diputuskan. Banyak keputusan penting di Indonesia yang sebenarnya terpengaruh oleh groupthink. Hal ini tidak lepas dari budaya kita yang cenderung paternalistik dimana kelompok menempatkan sang patron sebagai orang yang “lebih” dari anggota lainnya. Konsekuensinya, apapun yang dikatakan sang patron adalah benar. Berbeda pendapat dengan sang patron bisa diartikan merongrong atau berkhianat. (3)
Dalam beberapa hal, hipotesis Janis mengenai groupthink ini memang meyakinkan, namun ia tidak terlepas dari kritik. Kritik E.M Griffin (1997) terhadap groupthink Janis adalah tidak adanya penelitian komprehensif mengenai kasus-kasus yang dianggap memenuhi kualifikasi groupthink, seperti Challenger-nya USA, sehingga faktor kohesifitas kelompok yang mendominasi terjadinya groupthink sulit diukur kadarnya. Intinya, Griffin mempertanyakan bagaimana, kenapa dan sejauh mana kohesifitas kelompok bisa membuat keputusan yang difinalisasi adalah salah/keliru.
Selain itu beberapa kritik lain juga diarahkan kepada Janis. Para kritikus tersebut menyebut Janis hanya mengambil bukti-bukti yang mendukung teorinya saja. Kepaduan kelompok itu sendiri belum tentu menimbulkan pikiran kelompok (groupthink), misalnya perkawinan dan keluarga, dapat tetap terpadu atau kohesif tanpa menimbulkan pikiran kelompok; dengan tetap membiarkan perbedaan pendapat tanpa mengurangi keterpaduan itu sendiri (Aldag & Fuller, dalam Sarwono, 1999). Tetlock et.al (dalam Sarwono, Ibid), juga menyatakan bahwa dalam banyak kasus ada juga kelompok-kelompok yang sudah mengikuti prosedur yang baik, namun tetap melakukan kesalahan, misalnya Presiden Carter dan penasehat-penasehatnya yang merencanakan pembebasan sandera di Iran pada tahun 1980. Namun operasi tersebut gagal total dan Amerika Serikat dipermalukan. Padahal kelompok tersebut telah mengundang berbagai pendapat dari luar dan memperhitungkan kemungkinan secara realistik. (4)
CONTOH KASUS GROUPTHINK :
Kasus Mobil Nasional “TIMOR”
Keinginan Soeharto mewujudkan produksi dan pemasaran Mobil Nasional (Mobnas), untuk swadaya kendaraan dalam negeri membuahkan Instruksi Presiden (Inpres) No.2/1996. Isinya memerintahkan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi, untuk “melicinkan” proses kelahiran mobnas yang memiliki unsur, mengenakan merek sendiri, serta diproduksi dan menggunakan komponen dalam negeri.
Seluruh proyek ini dilimpahkan kepada putera Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) yang akhirnya mendirikan PT Timur Putra Nasional (TPN) sebagai produsen pembuat mobnas secara massal. Sontak, mobnas jadi “anak emas” di industri otomotif nasional.
Isu
kebijakan mobnas membuat perusahaan otomotif lain yang punya izin jualan di
Indonesia merongrong. Pasalnya, selain TPN semua produsen wajib membayar pajak
100 persen. Masih ada lagi, label harga Timor di pasaran jauh di bawah harga
“normal” sedan sekelasnya. Tidak hanya itu, kekhawatiran juga timbul sebab
diprediksi pemasaran mobnas bisa saja meraup pasar model lain.
Kelompok
produsen asal Amerika Serikat memutuskan untuk menunda investasi. General
Motors mengatakan aliran dana untuk pembangunan pabrik sebesar 110 juta dollar
dihentikan dan Chrysler membatalkan rencana investasi 150 juta dollar buat
produksi sedan Neon setelah sebelumnya telah menghasilkan Jeep, Cherokee dan
Wrangler. Namun yang paling “membara”, Jepang. Toyota sebagai perwakilan “Negeri
Samurai” sekaligus pemimpin pasar di Indonesia dirasa tersisihkan dari program
mobnas. Perundingan Indonesia-Jepang telah dilakukan, namun selalu tanpa
mufakat.
Akhirnya,
didukung Uni Eropa, Jepang membawa masalah ini sampai ke Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO). Indonesia dituduh melanggar beberapa poin pada ketentuan General
Agreeements of Tariff and Trade (GATT). Cara ini bisa dilakukan sebab Indonesia
terikat setelah menjadi anggota WTO sejak 1 Januari 1995.
Pada
22 April 1998, badan penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body) WTO
memutuskan program mobnas melanggar asas perdagangan bebas dunia, dampaknya
harus segera ditutup. (5)
Analisis:
1. Kondisi
Anteseden
a. Decision Makers Constitute a Cohesion
Group dalam kasus Mobnas ini adalah Soeharto. Pemimpin
tertinggi Republik Indonesia era orde baru. yang berkeinginan mewujudkan Mobnas
dan memasarkannya di Indonesia.
b.
Structural
faults of the organization
Dalam era orde baru, Soeharto merupakan
pemimpin yang sangat disegani sehingga seluruh pengikutnya selalu mematuhi apa
saja yang diperintahkannya. Tak terkecuali dalam kasus Mobnas ini.
Seluruh pembantu presiden, seperti Menteri,
dirjen, ataupun tim teknis mungkin tidak memiliki pendapat lain untuk tidak
menjalankan perintah presiden tersebut. Insulation
of the group seolah-olah terjadi, karena seluruh pembantunya tidak memiliki
kuasa untuk ikut menentukan pilihan mobnas, sehingga seluruhnya harus mengikuti
aturan soeharto.
Terlebih lagi para pembantunya tentu sudah
dipilih yang selalu setia kepada soeharto, sehingga apa yang dikatakan akan
selalu diikuti. Ideologi dan social background pengikutnya pun seragam, bahwa
“Apa kata bapak, harus diikuti”. Hal
inipun diwujudkan dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No.2/1996.
Isinya memerintahkan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri
Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi,
untuk “melicinkan” proses kelahiran mobnas.
Dengan demikian groupthink sudah ditandai
dengan adanya kesalahan struktur organisasi yang tidak ideal. Presiden menjadi
penentu utama, sedangkan para pengikutnya hanya menjalankan keputusan yang
ditetapkan Presiden.
c.
Provocative
Situational Context
Menurut
penulis, lahirnya mobnas tidak terlepas dari adanya pengaruh external diluar
istana. Pengaruh tersebut terutama berasal dari keluarga cendana, yang notabene
memiliki background pebisnis. Sebut saja Tommy Soeharto yang memang akhirnya
dilimpahi wewenang mengelola mobnas ini. Adanya keputusan mobnas ini jika kita
lihat secara mendalam tentu akan berimbas pada munculnya bisnis mobil nasional,
yang tentu saja akan menguntungkan keluarga cendana. Terlebih lagi adanya privilege atas mobnas ini yang
membebaskan pajak impor barang mewah, sementara produk mobil lainnya harus
membayar 100% pajak impor tersebut. Adanya provocative dari keluarga cendana
inilah yang kemungkinan besar menyebabkan adanya keputusan mobnas ini, yang
mungkin tidak memikirkan efek lainnya, dan hanya focus pada bisnis.
2. Gejala-gejalanya
(Symptons) dan implikasinya
a.
Overestimation
of the group
Ilusi
kekebalan yang menyelimuti pengambilan keputusan tersebut menyebabkan soeharto
dapat dengan mudah memutuskan untuk mengadakan mobnas. Dia merasa bahwa
keputusan yang diambil bersama para pembantunya, yang sejatinya hanya “nurut” apa kata “Bapak”, akan selalu
berhasil karena saat itu dialah pemimpin tertingginya, yang ditakuti dan
disegani. Namun dia lupa bahwa atas keputusannya tersebut, banyak pihak yang
dirugikan.
Dampaknya
pengambilan keputusan kelompok menjadi lebih lancar karena adanya overestimate
tersebut. Mereka menjadi percaya diri bahwa mobnas ini akan sukses di pasaran
dan membuat rakyat Indonesia bisa memiliki mobil dengan murah.
b.
Closed-mindedness
Adanya
pendapat lain atas kemungkinan gagalnya mobnas pasti akan tertutupi oleh
kekuasaan yang sudah ditanamkan Soeharto kepada para pengikutnya. Dengan
demikian akan terjadi rasionalisasi kolektif dalam group tersebut bahwa
keputusan ini adalah keputusan yang benar. Sehingga seluruh jajaran kementerian
harus mendukung program ini dan harus ikut mempromosikannya.
Tertutupnya
pendapat lain dari berbagai pihak bisa berimplikasi kepada seluruh jajaran
pemerintahan yang mau tidak mau juga harus ikut mensukseskan program mobnas
ini. Menteri-menteri terkait akan dengan segera membuat regulasi yang tentu
saja akan memuluskan program mobnas ini.
c.
Pressures
toward uniformity
Adanya
kekuatan yang dimiliki Soeharto dan keluarga cendana mau tidak mau akan
memberikan sebuah tekanan dalam pengambilan keputusan mobnas tersebut. Apa yang
telah direncanakan keluarga cendana harus bisa direalisasikan di Negara ini.
Apabila ada yang tidak setuju, direct
pressure tentu akan diterapkan bagi pembangkang tersebut. Self-cencorship pun berlaku dan tentu
saja hasilnya langsung disetujui oleh seluruh jajaran kementerian saat itu.
Dampaknya
memang dalam pengambilan keputusan kelompok tersebut, bisa dipastikan bahwa
seluruh menteri sudah “tunduk” kepada Soeharto. Karena adanya pressure yang tinggi atas seluruh
kebijakan yang diputuskan Soeharto.
Selain
itu, dalam hal pengambilan keputusannya, menurut pendapat penulis terdapat juga
beberapa gejala pengambilan keputusan yang salah yaitu: pertama, kurangnya survei
kelayakan atas kebijakan mobnas ini. Kemungkinan survey yang dilakukan tidak
objektif, karena memang keputusan sebenarnya sudah ditentukan. Lagipula suka
tidak suka, jika Soeharto sudah memutuskan maka tidak aka nada lagi yang bisa
menghentikannya. Karena yang menentang pasti akan diberantas. Kedua, tidak
diterimanya seluruh pendapat yang berusaha menghentikan program mobnas ini.
Sebagaimana dijelaskan diatas, keputusan sudah ditentukan oleh Soeharto,
sehingga dalam rapat pengambilan keputusan hanya berlangsung secara formalitas
saja. Diskusi yang dilakukan pasti akan mengarah kepada goal dari diterbitkannya program mobnas ini. Ketiga, sedikitnya
informasi mengenai untung ruginya mobnas. Karena yang diperhitungkan hanya
eksistensi diri (agar dimasa Soeharto punya Mobnas) dan keuntungan bisnis, maka
segala informasi yang dapat membredel program ini sengaja dihilangkan. Termasuk
kemungkinan gugatan dari produsen mobil dari Negara lain, seperti Jepang yang
notabene menguasai sebagian besar pasar mobil di Indonesia saat itu. Hal inilah
yang menjadi dasar bahwa keputusan yang
dibuat Soeharto dan para pembantunya dalam program mobnas adalah cacat dan
kurang diperhitungkan secara matang.
3. Rekomendasi
Untuk Mencegah Groupthink
Menurut
Janis (dalam Mulyana, 1999), ada beberapa cara agar groupthink dapat dihindari,
yaitu:
a. Pemimpin
kelompok menangguhkan penilaiannya. Dalam hal ini apabila Soeharto tidak
memaksakan kehendaknya agar mobnas ini harus terlaksana, mungkin saja hasil
survey kelayakan mobnas akan berbeda dan kebijakan yang cacat bisa dihindari.
b. Mendorong
munculnya berbagai kritik atas program atau keputusan yang diusulkan. Dalam era
orde baru, seperti kita ketahui kritik terhadap pemerintah jarang terlihat. Hal
ini karena superioritas dari Soeharto, sehingga keputusan program Mobnas ini dengan
mudah terlaksana.
c. Mengundang
ahli-ahli dari kelompok luar. Hal ini jelas tidak dilakukan oleh Soeharto,
karena mereka cenderung akan menyingkirkan orang yang berbeda pendapat.
d. Menugaskan
satu atau dua orang anggota untuk menjadi Devils
Advocat guna menentang pendapat mayoritas (sekalipun dia sebenarnya
mendukung pendapat tersebut). Namun dalam era soeharto, hal ini tidak akan
terjadi. Kerena ada kecenderungan siapa yang menentang, pasti akan hilang.
e. Kelompok
harus membuat keputusan secara bertahap, bukan sekaligus. Disini soeharto
langsung menetapkan program mobnas harus berjalan cepat. Bahkan ditambah lagi
adanya instruksi presiden tentang pembebasan pajak impor mobnas tersebut. Hal
inilah mungkin yang membuat kecemburuan para produsen mobil lainnya.
Daftar
Bacaan
Griffin,
Em. (ed). A First Look at Communication Theory, 8th Edition.
McGraw-Hill Companies, 2012.
Littlejohn,
Stephen W. Theories of Human Communication.7th Ed. Wadsworth, 2002.
Mulyana, Deddy. “Groupthink: Dari Kennedy hingga Soeharto” dalam Nuansa-Nuansa Komunikasi: Meneropong Politik
dan Budaya Komunikasi Kontemporer. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2001
Sumber
lain:
3. http://tecommunico.blogspot.co.id/2013/07/groupthink-hypotheses
4. Sarwono,
SW, 1999, Psikologi Sosial, Balai
Pustaka, Jakarta.
5.
http://www.tribunnews.com/otomotif/2014/04/10/ketika-presiden-soeharto
-mengakhiri-nyawa-mobil-nasional-timor
Komentar
Posting Komentar