Film and Ideology (Betty Bencong Slebor)

Film and Ideology:

Creativity, Technology, And Business

Keberadaan film di tengah kehidupan masyarakat memberikan beberapa nilai fungsi tertentu. Film dibuat dengan latar belakang produksi yang sangat rumit. Dari proses preproduction sampai kepada postproduction melibatkan banyak orang dengan fungsi yang berbeda. Film dikonsep sedemikian rupa, dengan pemilihan pemain, lokasi, kostum, musik dan unsur lainnya.

Film adalah suatu bentuk dari seni dan hiburan, namun banyak orang menganggap bahwa film yang merupakan seni dan film yang merupakan hiburan adalah hal yang berbeda. Film yang diputar dalam bioskop dianggap hanya sebagai hiburan, sedangkan film independen yang diputar di festifal merupakan sebuah karya seni. Film yang merupakan sebuah karya seni juga sering dianggap bukan merupakan suatu bisnis. Ini merupakan pandangan yang salah, karena walaupun film tersebut tidak dikomersialisasikan tetap ada bisnis yang terjadi saat produksi suatu film.

Di samping mencapai suatu nilai profit bisnis, film juga berfungsi untuk mentransmisikan suatu pesan dari si pembuat film kepada khalayak luas. Pesan berisi tentang ide cerita yang disampaikan dalam film. Pesan akan ditujukan kepada receiver yaitu penonton film. Penyampaian pesan melalui film juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan referensi si penonton saat mengintrepretasikan film. (1) Film memiliki kemampuan untuk mengantarkan pesan secara unik. Dapat dilihat begitu banyak jenis film, diantaranya dokumenter, horor, drama, action, petualangan, komedi, kriminal , fantasi, musikal, animasi, dan lainnya. Tiap konsep film akan sesuai dengan konsep pesan yang akan disampaikan. Sehingga bagi penonton berat, teori Kultivasi dalam Ilmu Komunikasi Massa mungkin akan berlaku. Teori yang diperkenalkan oleh George Gebner (1976) ini menyebutkan bahwa media dalam hal ini Film menghasilkan sebuah dampak dimana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata (kehidupannya sehari-hari) berjalan sesuai dengan dunia yang digambarkan oleh Film. Ataupun sebaliknya, menganggap bahwa dunia dalam Film itu adalah "realita".(2)

Making The Movie: Film production
Dari lingkup cakupannya, produksi film secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Large Scale Production
Produksi film dengan skala besar biasanya dilakukan oleh studio film, dengan biaya yang besar, dan juga memiliki jumlah kru yang besar. Film yang dibuat biasanya untuk tujuan komersil dan menjadi sebuah blockbuster.
2. Exploitation and Independent Production
 Produksi film dengan skala yang lebih kecil. Beberapa kru merangkap sebagai fungsi yang lain. Banyak film dengan skala ini ber-genre horror, seks, dan remaja. Beberapa film yang mendapatkan respon positif dari masyarakat biasanya akan dibeli oleh studio besar agar hak distribusi bisa dimiliki oleh studio besar.
3. Small-Scale Production
Pada produksi skala besar maupun independen banyak orang yang terlibat dalam produksi suatu film. Sedangkan pada produksi film kecil, seseorang bisa melakukan semua yang dilakukan pada produksi film. Menyutradarai, membiayai, bahkan membintangi film itu sendiri.

Membuat film  memiliki dua makna, manusia membuat film menggunakan mesin dan bisnis yang dilakukan dalam membuat film. Manusia membuat film menggunakan mesin karena saat membuat film dibutuhkan kamera yang baik, alat pencahayaan yang baik, studio sound, dan adanya special effect dengan teknologi. Membuat film merupakan bisnis karena saat membuat film kita akan berhubungan dengan industri yang membuat peralatan untuk membuat film, kita juga akan berhubungan dengan pihak yang akan membiayai pembuatan film, dan berbagai aspek bisnis lainnya.
Dalam kaitannya dengan teknologi, film dengan segala teknologi di dalamnya dapat mempengaruhi masyarakat dalam mengkonsumsi pesan. Konsep McLuhan (1964) menyebutkan bahwa teknologi dapat mengekstensi kemampuan manusia . Dilihat dari proses produksinya, teknologi pembuatan film dapat mengektensi kemampuan si pembuat film untuk membuat film dengan detil ruang dan waktu tertentu, yang jelas berbeda dengan kondisi asli saat film dibuat. Dari sisi penonton, dengan adanya teknologi, penonton dapat menikmati suasana dengan nuansa tahun tertentu, di negara tertentu melalui pertunjukan film. Teknologi digital juga memudahkan penonton untuk mengakses semua jenis film produksi negara mana pun tanpa harus pergi langsung ke negara tersebut. McLuhan juga memberikan konsep medium is the message. Diartikan bahwa teknologi yang menjadi media pembawa pesan. (3)

Bringing the Film to the Audience : Distribution and Exhibiton

Distribution : The Center of Power

Perusahaan distribusi film merupakan bagian penting dalam indutri perfilman. Terdapat 6 perusahaan distribusi film Hollywood yang berskala dunia : Warner Bros, Paramount, Walt Disney/Buena Vista, Sony/Columbia, Twentieth Century Fox, dan Universal. Banyak pembuat film yang tidak memiliki akses untuk memasarkan filmnya ke skala dunia, sehingga mereka berusaha untuk bekerja sama dengan para distributor besar untuk mendistribusikan filmnya.

Exhibition : Theatrical and Nontheatrical

Dalam memamerkan sebuah film, para pembuat film memiliki beberapa cara, paling terkenal adalah dengan memamerkannya di teater/bioskop baik dengan tujuan komersil maupun festival. Selain itu pembuat film bisa membuat format seperti VCD/DVD.

Artistic Implication of Distribution and Exhibition

Sampai dengan tahun 1980-an para penonton film tidak bisa menonton film ulang secara bebas. Semenjak munculnya Home Video dan DVD, para penonton dengan mudahnya menonton ulang film. Untuk menarik perhatian para penonton untuk menonton ulang film dalam bentuk DVD atau lainnya, para pembuat film menambahkan fitur-fitur menarik di dalam DVD, bisa dengan kualitas gambar yang lebih baik, scene-scene yang tidak muncul di theatrical release, dan dokumentari dari pembuatan film tersebut.

FILM DI INDONESIA

Ideologi Orde Baru

Sejarah film Indonesia sulit dipelajari sebelum tahun 1950. Hal itu karena banyak dokumen-dokumen film terutama yang berasal dari dari “sayap kiri” pemerintah banyak yang dimusnahkan. Namun setelah secara nyata Indonesia merdeka, maka pada tahun 1950 Indonesia memproduksi hingga 23 film Indonesia. Namun hingga saat ini hanya ada satu yang masih bisa dinikmati, yaitu Darah dan Doa karya Usmar Ismail. Oleh karena itu Beliau lebih dikenal sebagai “Bapak Perfilman Konteporer Indonesia”.

Usmar Ismail juga membuat Perusahaan Film Nasional Indonesia, namun tidak bertahan lama karena adanya 3 faktor, yaitu kekurangan modal, ketidakpedulian masyarakat saat itu pada produksi local, dan sensor yang ketat dari pemerintah yang tidak ingin masyarakat tahu fenomena sosial apa yang sebenarnya terjadi disekitarnya. Perlu diingat bahwa pada saat itu pemerintahan dikuasai oleh era orde baru. Dimana pada masa tersebut, film nasional kurang mendapat perhatian yang lebih dan dipandang hanya sebelah mata.

Pada awal tahun 1960an, terjadi ketegangan politik antara “Ideologi kanan” dan “Ideologi kiri” di Indonesia. Hal tersebut juga berpengaruh pada produksi film di Indonesia. Ideologi kiri, seperti LEKRA (terkait dengan PKI) membuat film dengan agenda Ideologinya dengan sutradara Bactiar Siagian. Disisi lain dari Ideologi kanan, seperti LESBUMI (Lembaga kebudayaan Islam)  dengan tokoh Usmar Ismail dan Jamaluddin Malik membuat film dengan ideologinya mereka. Masing-masing dari tokoh ideology tersebut juga sering menulis kritik film untuk menyerang film dari organisasi lainnya. Namun karena ideology kiri seperti PKI tidak didukung pemerintah, maka pada tahun 1965 ideologi ini matikan oleh pemerintah dan tokoh seperti Bactiar Siagian disingkirkan dari Industri Film Nasional.

Tidak berhenti disitu, bahkan selang 17 tahun kemudian atau tepatnya tahun 1982, pemerintah bahkan membuat sebuah film dokumenter yang cukup fenomenal, yaitu film pengkhianatan G 30 S PKI. Film yang dibuat berdasarkan ideologi pemerintah ini bahkan dipaksakan untuk ditonton oleh seluruh anak SD saat itu. Penayangannya dilakukan di televisi nasional pada jam sibuk TV, yaitu pukul 19.30. Namun setelah berakhirnya masa orde baru pada tahun 1998, film tersebut berhenti ditayangkan.

Peran Gender

Pada saat yang sama, dibawah rezim orde baru, peran gender juga digambarkan dengan jelas dalam film. Wanita ditempatkan dalam film memiliki 5 fungsi, yaitu : Pendukung setia suami, Pengurus Rumah tangga, sarana penghasil generasi masa depan bangsa, Ibu dan pendidik anak-anaknya, dan warga Negara yang setia. Sementara Suami ditegaskan sebagai “Bapak” yang memang dominan dalam segala hal. Istilah “Bapak” ini memang tercermin dari sosok Soeharto yang menjadi sangat dominan dan memiliki kendali penuh atas pemerintahan Indonesia saat era orde baru.

Akademisi telah menulis banyak sekali mengenai hubungan antara bangsa dan gender. Joan W. Scott (1999) memandang gender sebagai tempat artikulasi kekuatan dan juga sebagai sebuah analisis untuk memahami berbagai jenis interaksi sosial dan politik. (4) Gender mengkonstruksikan politik dengan mendefiniskan hubungan antara kekuatan dominan dengan subordinat, atau antara bangsa dengan musuh-musuhnya. Contoh-contoh Scott, dimulai dari Nazi Jerman hingga Ayatollah Khomeini di Iran, mendemonstrasikan bagaimana kekuatan yang berkuasa biasanya diasosiasikan dengan kekuatan dan maskulinitas, sementara musuh-musuhnya dideskripsikan sebagai “orang luar” yang lemah dan feminin. Menyatakan bahwa semua bangsa dikonstruksi oleh perbedaan gender, Anne McClintock berargumen bahwa perempuan seringkali menjadi “pemangku bangsa” secara simbolik, sedangkan laki-laki bertindak sebagai “agen nasional”, secara aktif memberikan pelayanan mereka pada bangsa.(5) Maskulinitas, lebih jauh lagi, paralel dengan harga diri dan kekuatan nasional.

Jenis kelelakian yang ditampilkan oleh Soeharto sebagai “Bapak” tercermin lebih jelas melalui sebuah gelar yang diberikan Soeharto pada dirinya sendiri yakni “Bapak Pembangunan”. “Bapak” atau “Pak” adalah cara formal untuk merujuk pada pria dewasa, namun juga berarti ayah, seorang pria yang sudah menikah dan pria dengan posisi yang lebih tinggi yang memiliki kebijaksanaan, karisma, kekuatan, nilai-nilai keluarga dan penguasaan-diri. Ia juga biasanya seseorang yang peduli pada kesejahteraan keluarga atau kelompok. Meskipun sosok Ibu dapat juga memiliki tanggung jawab sosial yang sama, Bapak memiliki otoritas lebih sedangkan Ibu diharapkan untuk mendedikasikan diri tanpa mengharapkan kekuatan maupun prestise.(6)

Intervensi Pemerintah dalam Industri Perfilman Indonesia

Pada tahun 1973, pemerintah menetapkan kuota impor film sebanyak 700 film pertahun. Hal tersebut harus dikurangi sampai 100 film impor pada tahun 1978. Namun pada 1976, Asosiasi Artis Indonesia meminta pemerintah agar menambahkan syarat bahwa setiap impor 5 film, importer harus membiayai film nasional. Namun peraturan ini hanya bertahan 1 tahun karena banyak importer hanya membuat film murah dan mungkin tidak bermutu hanya untuk memenuhi persyaratan kuota.

Karena kurangnya konsistensi kebijakan resmi, pada tahun 1979 pemerintah membentuk Dewan Film Nasional Indonesia (DFNI). DFNI meyakinkan pemerintah untuk mendirikan dana produksi film nasional yang mengharuskan importer membayar US $7500 untuk setiap film impor. Dana tersebut nantinya akan digunakan untuk pembinaan seniman dan pelaku film nasional.
Pada tahun yang sama, Pemerintah juga mendirikan Unit Film Pemerintah. Unit ini sebagian besar menghasilkan film documenter, namun ada juga beberapa film lain yang dibuat. Pemerintah juga mengontrol distribusi film melalui perusahaan distribusi film Indonesia, namun sebagian besar memang film dari Amerika dan Cina. Hal tersebut karena sejumlah factor, yaitu:
1.    Rezim keluarga Soeharto yang mengontrol impor film, yang memang kurang tertarik dengan nasib film local.
2.   Secara umum pemilik bioskop lebih senang menampilkan film Hollywood karena lebih banyak menghasilkan uang.
3.  Adanya ancaman dari Hollywood untuk memastikan akses film mereka ke bioskop Indonesia, termasuk sanksi perdagangan dan menahan seluruh film Hollywood jika terjadi pembatasan atas film-film Hollywood.

Mudahnya akses film asing masuk ke Indonesia tidak terlepas dari adanya perjanjian multilateral Indonesia dengan Dunia Internasional melalui perjanjian ekonomi GATT (General Agreement On Tariff and Trade). Ditambah lagi perjanjian lain mengenai perdagangan jasa multilateral dalam GATS (General Agreement on Trade and Services). Perjanjian tersebut membuat hubungan perdagangan dengan Negara lain menjadi lebih mudah dan menjanjikan, termasuk perdagangan film impor. Ditambah lagi tekanan politik dari Amerika apabila tidak dapat mengimpor Film Hollywood ke Indonesia, tentu akan berimbas kepada hubungan ekonominya. Ditambah lagi saat itu Indonesia masih menjadi anak emas IMF dengan kucuran dana yang selalu datang disaat dibutuhkan, tentu pemerintah Indonesia tidak akan mau mengecewakan “ayah” angkatnya tersebut. Dalam perkembangannya, GATT berubah nama menjadi WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995. 

Hal inilah yang menyebabkan walaupun menurun produksi film nasional, tetap banyak dibuka bioskop baru, dan film yang hadir terus meningkat. Pada tahun 1965, ada 400 bioskop beroperasi; pada tahun 1987 ada 2.100 bioskop (251 bioskop di Jakarta). Juga pada tahun 1987, diperkirakan 11 juta orang Indonesia menonton film di Bioskop (2,5 juta orang di Jakarta). Namun tetap saja, sebagian besar penonton film ini lebih memilih menonton film-film Hollywood.

Melawan Ideologi Gender Orde baru

Dalam Teori Komunikasi, kita mengenal istilah Teori Kritis yang bermula dari seorang filsuf dari Jerman (Prusia) bernama Karl Marx yang membawa ajaran “Marxisme”. Pada intinya Karl Marx berpendapat bahwa kaum dominan selalu menindas kaum minoritas (seperti Buruh, perempuan, dan orientasi sex). Oleh karena itu agar bisa bebas dari jeratan hegemoni tersebut, maka harus ada perlawanan terhadap kaum dominan.

Berakar dari teori Marx tersebut, berkembanglah sebuah aliran/mahzab yang tumbuh dari sebuah pusat studi kontemporer budaya (CCCS) di Birmingham pada tahun 1964. Aliran tersebut dikenal dengan istilah Mahzab Birmingham yang kemudian memperkenal sebuah pembelajaran mengenai budaya (cultural studies). Para pemikir mahzab ini mulai mempelajari budaya-budaya yang terpinggirkan oleh ideologi-ideologi dominan yang hidup pada sebuah budaya. Fokus cultural studies adalah perubahan sosial, yaitu munculnya atau diakuinya budaya-budaya yang termarginalkan tersebut. Oleh karena itu, mereka meyakini bahwa untuk melawan dominasi tersebut, haruslah dibuat suatu hegemoni tandingan (counter hegemoni) dengan budaya dan sumber daya yang dimilikinya. (7)

Di Indonesia sendiri, Representasi seksualitas pada zaman Orde Baru berpusat pada peran reproduksi wanita, dan cenderung untuk menampilkan bangsa yang dibangun dari keluarga bahagia (heteroseksual) daripada kehidupan pribadi seseorang (Boellstorff, 2005). Peran Ayah sebagai kepala rumah tangga dan peran istri sebagai pelayan suami. Inilah yang menjadi tiang pijakan pemerintahan peran orde baru saat itu.

Melihat historical ideology diatas mungkin cocok dikaitkan dengan adanya mahzab Birmingham. Banyak kemudian para seniman yang mencoba mendobrak hegemoni gender tersebut dengan menampilkan sebuah film yang mengambil tema tentang perempuan yang perkasa atau bahkan tentang transgender. Sebagai contoh film Suzana yang banyak dirilis pada era orde baru yang justru menampilkan setan perempuan yang mendominasi atas laki-laki (walaupun sudah mati, tetapi pesan yang ditangkap adalah perlawanan perempuan atas laki-laki).

Film lain yang mengambil tema transgender adalah Betty Bencong Slebor yang dirilis pada tahun 1978. Betty bencong slebor yang diperankan oleh Benjamin Sueb menjadi hit box-office pada akhir tahun 1970-an. Film ini bergenre komedi yang mengkritik persepsi mainstream terhadap waria, laki-laki yang menjelma menjadi perempuan transgender (MTF), yang terpinggirkan sebagai warga negara kelas dua. Betty, seorang waria yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Bokir ini, digambarkan bahwa identitas gender ini bukanlah identitas tetap. Istri Bokir sangat senang memiliki Betty di keluarganya karena merasa Bokir sebagai pria hidung belang. Dalam film ini, waria-ness merupakan strategi alternatif untuk bernegosiasi sistem di pemerintahan. Betty bencong slebor dapat dilihat sebagai cult film, karena mengingat protagonis utama dan sutradara film adalah Benyamin Sueb, salah satu ikon budayawan terbesar di Indonesia. Sebagai sebuah cult film, betty bencong slebor membantu pengunjung untuk memahami kompleksitas, ambiguitas dan kehidupan yang keras dari wadam / waria, kelompok terpinggirkan dengan identitas yang berbeda. Cult film juga sering bergesekan dengan nilai budaya local dan menolak politik yang dominan (Ernest Mathijs dan Mendik’s perspektif, 2007).

Daftar Bacaan
1. Munir, maimunah. Challenging the New Order’s Gender Ideology in Benjamin Sueb’s Betty Bencong Slebor: A Queer Reading. 2014
2. Thomson, Kristin and David Bordwell. Film Art An Introduction.New York: McGraw-Hill.2008
3. White, Timothy R. The Cinema of Indonesia: An absent past and cloudly future. 1998

Sumber Lain:
2.       McQuail, D. “McQuail’s Mass Communication Theory”, 6^th Edition. London: SAGE Publications Ltd. 2010
3.       McLuhan, M. Understanding Media: The Extensions of Man. Bergen Field, NJ: New American Library. 1964
4.       Scott, Joan W. Gender and The Politics of History. New York: Columbia University Press, 1999.
5.       McClintock, Anna. Imperial Leather: Race, Gender and Sexuality in the Colonial Contest. London & New York: Routledge, 1995.
7.       Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication.7th Ed. Wadsworth, 2002.
9.       http://www.sodomylaws.org/world/indonesia/idnews003.htm

Komentar