Anomali Elizabeth Loftus dan Fusion of Horizon Gadamer

Anomali (Elizabeth Loftus)
“Gary P. Radford pernah bertanya kepada muridnya tentang apa itu “Komunikasi”, definisi mereka tentang komunikasi sangat konsisten dan seolah tidak ada keraguan. Sebagian besar murid Radford menjawabnya dengan perspektif komunikasi sebagai sebuah proses transmisi, seperti “komunikasi adalah pertukaran ide-ide, atau proses di mana suatu pesan ditransmisikan dari satu orang kepada orang lain.” Kemudian tidak lupa mereka menyebutkan istilah yang sudah mereka pelajari sebelumnya di kuliah komunikasi, seperti “sender”, “receiver”, “encode”, dan “decode”.”
Contoh kecil diatas menunjukkan bahwa selama ini rezim komunikasi memang didominasi oleh “Rezim Transmisi” yang berasal dari filsafat pengetahuan John Locke yang diperkaya oleh teori informasi dari Shannon, Weaver, dan Wiener. Pengertian komunikasi berdasarkan teori ini seolah-oleh sempurna; di mana ide muncul dalam pikiran pengirim pesan yang membuatnya dalam kode lalu mengirimnya kepada penerima pesan. Penerima pesan selanjutnya mengkodekan kembali pesan tersebut dan mengubahnya menjadi ide di dalam pikirannya. Ide di dalam pikiran penerima itu bisa sama, atau mirip dengan ide pengirim pesan.           

Sejalan dengan hal tersebut, Thomas Kuhn memperkenalkan istilah “Paradigma”. Dalam bukunya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolution” Paradigma transmisi ini menjadikan ilmu sebagai sebuah “Normal Sience”. Dalam normal sience ini diketahui bahwa kerja ilmiah diibaratkan sama dengan memecahkan puzzle (Puzzle Solving).
                Namun, menurut Dr. Elizabeth Loftus dari Universitas Washington di Seattle diketahui proses komunikasi tidak sesederhana sebagaimana disebutkan dalam rezim transmisi/paradigma transmisi. Dalam komunikasi, pengirim dan penerima pesan berusaha memperjuangkan tercapainya kesamaan ide antara komunikator dan komunikan. Nyatanya, persamaan ide itu tidak pernah benar-benar tercapai. Sebab, hubungan antara ide dan kata-kata itu masih menyertakan ketidakpastian dalam proses komunikasinya.
Pada tahun 1974 loftus melalui penelitiannya menunjukkan bahwa betapa subjektif dan ambigunya proses komunikasi. Salah satu dari contoh itu diambil adalah teori perceptual (penglihatan) dari testimoni saksi mata. Penelitian dilakukan dengan meminta sejumlah responden untuk menonton sebuah film yang menunjukkan adegan tabrakan antara dua mobil. Setelah film selesai diputar, sebagian responden ditanya seberapa cepat kecepatan mobil ketika mereka saling bertubrukan? Responden lainnya  ditanya  seberapa cepat mobil bertabrakan ketika mereka menabrak satu sama lain?. Hasilnya menunjukkan pertanyaan pertama memberikan perkiraan kecepatan yang lebih tinggi.  Setelah itu seminggu kemudian responden tersebut diberikan pertanyaan lagi: apakah ada kaca yang pecah dalam kecelakaan tersebut. Hasilnya banyak responden menjawab bahwa mereka melihat banyak kaca yang pecah dalam kecelakaan mobil tersebut. Padahal sebenarnya dalam film tersebut tidak dinampakkan ada kaca mobil yang pecah. Namun menurut responden biasanya memang dalam kecelakaan ada kaca mobil yang pecah.
Dari jawaban-jawaban ini. Loftus menyimpulkan ada dua macam jawaban yang diberikan responden. Jawaban atau informasi pertama adalah persepsi asli dari kejadian tersebut. Sedangkan jawaban kedua dipengaruhi oleh informasi eksternal yang diberikan setelah penonton melihat fakta (dalam hal ini bahasa). Meskipun dua informasi ini berbeda, mereka telah menyatu dalam satu memori tunggal. Karena itu, responden yang menjawab “tubrukan” mengaku mengingat ada pecahan kaca yang sebenarnya tidak ditampilkan dalam film. Kejadian yang tidak terjadi itu menjadi setara dengan ingatan nyata mereka.
Loftus menyimpulkan bahwa jawaban dari pertanyaan yang diajukan segera setelah seseorang menyaksikan suatu kejadian, akan sangat mempengaruhi jawaban atas pertanyaan yang diajukan beberapa waktu kemudian.  Di sini ia menawarkan “The Alteration Hypothesis” tentang ingatan. “The Malleability of memory” manusia mewakili sebuah fenomena yang mengejutkan dan menjengkelkan. Artinya, ingatan kita atas suatu kejadian di masa silam tidak sama persis dengan kejadian yang sebenarnya kita alami. Kebenaran dan kepastian pun goyah di sini. Lebih nyaman buat kita untuk meyakini bahwa di suatu tempat di otak kita, tersembunyi ingatan yang benar-benar berkorelasi dengan kejadian yang lalu. Sayangnya, ingatan kita tidak didesain sesederhana itu.  (Loftus, 1980, p.290).
Hasil Penelitian ini oleh Gary Radford dianggap sebagai suatu “Anomali” bagi paradigma transmisi yang sebelumnya dianggap sebagai “normal sience”. Ternyata dalam proses komunikasi sebenarnya ada unsur diluar yang disebutkan dalam paradigma transmisi. Ide tidak hanya berasal dari pengamatan indera semata saat itu, namun juga sangat dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kejadian dimasa lalu. Kejadian dimasa lalu tersebut disimpan didalam memori kita yang sewaktu-waktu bisa muncul kembali, bisa secara sengaja dengan cara mengingatnya kembali, atau bahkan secara tidak sengaja seperti ketika dalam mimpi. Hal ini memunculkan teori baru bahwa sebenarnya paradigma transmisi memang sudah tidak berlaku lagi dan seharusnya memang sudah ditinggalkan. Atau dengan kata lain, paradigma transmisi ini “ditertawakan” dengan hadirnya pendapat baru mengenai kelenturan memori atau “The Malleability of Memory”.

Hans-Georg Gadamer (Fusion of Horizon)
Hans-Georg Gadamer dilahirkan di kota Breslau pada 11 Februari 1900. Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang profesor kimia di sebuah universitas. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah meninggal pada tahun 1928.
Hans-George Gadamer merupakan seorang filsuf yang pemikirannya mengikuti Martin Heidegger. Salah satunya adalah pemikiran mengenai  bahasa. “ada sebagaimana dapat dimengerti adalah bahasa (Sein daβ verstanden wirden kann ist Sprache)”, adalah salah satu pemikiran yang kemudian dikembangkan oleh Gadamer. Heidegger mengungkapkan bahwa Manusia adalah Dasein (There-Being).  Pada manusia being, dapat dikatakan sebagai “there” (Sein dapat dikatakan “da”). Sebagai contoh dari pemikiran  Heidegger ini adalah apabila ada dosen yang mengabsen mahasiswanya, dosen tersebut menyebutkan nama mahasiswanya, dan mahasiswa bersangkutan menjawab “ada”. Hal tersebut merupakan sebuah conversation yang efektif dan dapat dimengerti satu sama lain.
Pelajaran dari Heidegger diatas kemudian dikembangkan lebih luas oleh Gadamer. Menurut Hans-Georg Gadamer, Bahasa memiliki kekuatan untuk mengungkap dan juga menyembunyikan suatu makna yang dimiliki atau dipahami secara eksklusif oleh komunitas setempat. Oleh karena itu, orang lain yang hendak memahami bahasa atau pemikiran suatu masyarakat harus masuk ke dalam sejarah dan cara membahasa mereka (baca: tradisi mereka). Karena bahasa merupakan the concrete expression of ‘form of life’ or ‘tradition’ (ekspresi kongkret dari kehidupan atau tradisi), maka bahasa menjadi titik sentral dalam proses pemahaman (understanding/verstehen). Menurut Gadamer, “mengerti” tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bahasa. Karena “mengerti” bukan saja dilakukan dalam memahami teks-teks masa lampau, tetapi merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi manusia, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa mempunyai relevansi ontologis. “Mengerti” sama dengan mengadakan percakapan atau dialog dengan yang ada, suatu percakapan di mana sungguh-sungguh terjadi sesuatu. Gadamer menegaskan bahwa masalah hermeneutik bukan penguasaan yang benar terhadap bahasa, tetapi pemahaman yang tepat terhadap sesuatu yang terjadi melalui media bahasa. Kaitannya dengan proses pemahaman, Gadamer menegaskan hanya melalui bahasalah wujud (baca: makna) bisa disingkapkan.
Atau dengan kata lain, Gadamer menyebutkan bahwa ada kemungkinan menggunakan bahasa yang terdiri dari definisi-definisi realitas (penyingkapan ada sebagai alethia) menurut “kebudayaan” tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan ada yang menyingkapkan diri dalam kebudayaan atau tradisi tertentu. Dalam komunikasi dan bahasa, tanpa disadari diperlihatkan bahwa Dasein adalah Mitsein (Being together, Ada Bersama). Sehingga tanpa aspek kebersamaan ini, dapat dipastikan bahwa komunikasi tidak akan terjadi.
Dalam buku “on The Philosophy of Communication”  karya Gary P. Radford, dikutip perkataan Gadamer yang berbunyi :
Language Speaks Us, Rather Than We Speak It” (Gadamer 1960/1989) p.463
Kutipan dari Gadamer diatas menekankan bahwa sebenarnya bukan kita yang mengucapkan bahasa, tetapi bahasa yang mengucapkan dirinya melalui kita. Komunikasi bukan sesuatu yang berproses dalam pikiran kita, melainkan bahasa yang berbicara melalui kita. Bahasa menciptakan perasaan kita, dan bukan sebaliknya kita yang menciptakan bahasa. Dalam realitas sehari-hari, seluruhnya ditentukan oleh bahasa. sebagai contoh: orang yang bisu, tuli, buta sebelumnya mereka tidak berbahasa. Sehingga mereka tidak mengenal realitas. Bisu tidak bisa mengucapkan bahasa, tuli tidak bisa mendengar kejujuran, dan Buta tidak bisa melihat realitas. Namun setelah berkembangnya jaman, masing-masing mereka menemukan cara berbahasa sehingga mereka bisa merasakan realitas sehari-hari. Dari sisi lain, pernah ada usaha untuk menciptakan sebuah bahasa, namun gagal. Hal itu karena bahasa memang unik dan harus sesuai dengan kondisi masyarakat dimana bahasa itu ada. Sebagai contoh usaha pembuatan bahasa yaitu istilah kata : mangkus dan sangkus, yang artinya efektif dan efisien. Namun sampai  saat ini kita masih menggunakan istilah efektif dan efisien dalam kehidupan sehari-hari kita, dan bukan menggunakan istilah mangkus dan sangkus.
Berbicara mengenai Gadamer, tentu tidak lepas dari pandangan hermeneutic. Gadamer menganut Hermeneutic Diakronis, yaitu antara teks dan penafsir/pembaca mempunyai kesejarahan. Konteks penafsir/pembaca saat ini juga terlibat sebagai horizon pemaknaan teks. Hal ini memunculkan istilah baru yang disebut “Fusion of Horizon” oleh Gadamer. Artinya bahwa konteks masa lalu dan masa sekarang bergabung menjadi satu. Yang diucapkan tidak ada tadi atau nanti, yang ada sekarang. Sehingga pemaknaan yang akan dihasilkan adalah arti teks saat penafsir membacanya saat itu. Hermeneutic Gadamer ini berusaha memahami tradisi atau horizon lain. Sekai lagi hal ini menjadi penting dalam komunikasi intercultural. Sebagai contoh Penerjemah yang menjadikan “Fusion of Horizon” menjadi sangat berguna. Karena Penerjemah memang melakukan tugasnya tidak bisa lepas dari latar belakang pribadinya, baik pendidikan, pergaulan, dll. Dengan kata lain, hasil interpretasi terjemahannya sangat terpengaruh dari seberapa tingkat pemahaman dia terhadap budaya lawan bicaranya.





DAFTAR PUSTAKA
Radford, Gary P. (2005). On The Philosophy of Communication. Belmonth. USA: Wadsword


Komentar